Hayu Dyah Patria Mengangkat Tanaman Liar Menjadi Bernilai Ekonomi - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Senin, 25 September 2023

Hayu Dyah Patria Mengangkat Tanaman Liar Menjadi Bernilai Ekonomi

Assalamualaikum. Saya lahir dan besar menghirup udara di perkotaan yang sarat polusi. Namun saya masih beruntung tinggal di tempat yang jauh dari pabrik. Jadi bangun tidur dan melihat keluar jendela pun saya masih melihat langit yang biru. Namun untuk mendapatkan sayuran segar harus tetap keluar rumah dan belanja di warung atau pasar.

Tanaman liar sumber pangan
Tanaman krokot tumbuh liar bahkan di jalanan kota besar

Itu lah sebabnya sejak usia sekolah dasar, saya selalu senang manakala tetangga yang asli orang Delanggu menawarkan ikut mudik. Teman sepermainan yang bercerita turut andil menggoda saya ingin merasakan hidup di desa. 

Dan benar saja, sejak kecil pun saya terpesona dengan keheningan desa, udara yang bersih, air jernih mengalir di sungai yang ada di batas desa, dan tanaman tumbuh subur. Beberapa kali hingga usia sekolah menengah atas, saya masih ikut mudik bersama tetangga. Tentu saja orang tua mengijinkan karena kami memang kenal baik dan bertetangga juga udah lama. Dan mereka mudik biasanya ketika bulan ruwah yang artinya saatnya pulang kampung untuk bersih-bersih kubur.

Pesona Desa Dan Hutan di Indonesia

Saya masih ingat waktu masih menjadi pelajar SMA dan ikut camping di dusun Promasan yang terletak di lereng Gunung Ungaran. Oleh warga setempat, kami diajak mencari slada air di sungai yang airnya jernih. Saat itu saya teramat senang bisa ikut memetik tanaman yang katanya tumbuh liar. 

Kecintaan pada alam menuntun saya menjadi salah seorang anggota WALHI di kampus Polines. Salah satu programnya adalah mendaki gunung dan turun membawa sampah. Sepanjang pendakian ketertarikan saya tumbuh dengan melihat banyaknya tanaman hutan yang bisa menjadi sumber pangan, seperti daun cantigi, batang begonia, dan murbei. Saya sebagai anak kota terlalu takjub menemukan tanaman yang tumbuh liar di sepanjang jalur pendakian ini bisa dinikmati untuk cemilan ringan. 

Kecintaan saya pada desa dengan kekayaan alam yang masih asri menuntun pada sosok Hayu Dyah Patria. Saat saya menyusuri dunia maya untuk mencari desa yang memiliki hutan ataupun terletak dekat gunung, nama MENDIRA muncul. Bersamaan nama Mendira, muncul nama seorang perempuan pemerhati lingkungan yang juga peneliti tanaman pangan liar. Dia adalah Hayu Dyah Patria.


Perempuan Penerima Award Satu Indonesia

Dusun Mendira sejak lama sudah disematkan sebagai salah satu dusun paling miskin di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dusun Mendira terletak di atas bukit dengan jalanan yang rusak, serta rumah-rumah yang masih berwujud kayu. Warga dusun tidak memiliki pekerjaan tetap kecuali merawat tanaman di kebun.

Banyak warga luar dusun tersebut mencibir dengan kemiskinan Dusun Mendira. Bahkan beberapa anak dusun sangat sedih karena penyematan oleh warga luar tentang anak gunung, dusun miskin, dan lainnya. Alasannya karena mereka sering mengambil tanaman hutan untuk dijadikan masakan. Selain itu beberapa kali hewan liar memasuki kawasan pemukiman warga. 

Hayu Dyah mendengar pertama kali sebutan dusun miskin ini tergugah. Rasa penasaran yang membawanya ke Dusun Mendira karena ajakan oleh seorang teman. 

Saat tiba di dusun tersebut, Hayu Dyah justru terkejut dengan kekayaan alam yang ada di depan matanya. Dusun Mendira sebuah surga di bumi dengan sumber air segar yang mengalir dari gunung. Sumber air yang akan terus mengalir sepanjang warga yang tinggal di kaki gunung menjaga hutannya. Tanah dusun tersebut juga terjaga karena terlihat gembur hingga tanaman liar tumbuh sendiri di kebun warga. Aneka kekayaan hayati di dusun itu hanya menanti tangan-tangan warga untuk dimanfaatkan secara optimal.

Menurutnya Dusun Mendira itu tidak miskin. Kecuali kalo standar penilaian miskin adalah rumah yang tidak beralas semen atau keramik. Hayu Dyah melihat kemiskinan dengan esensi yang berbeda. Warga yang kelaparan karena tidak bisa menemukan sumber pangan bisa dianggap miskin. 

“Saya justru tidak melihat kemiskinan sama sekali. Jika kemudian definisi miskin adalah berarti rumah tidak beralas semen atau keramik, menurut saya itu bukan esensinya. Ini adalah daerah yang sangat kaya,” katanya.

Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022.

Angka kekurangan gizi ini merujuk pada kasus stunting di Indonesia. Kasus kekurangan gizi sebenarnya bukan hanya dihadapi balita, namun juga orang tuanya. Ketika orang tua tidak mengenal sumber pangan yang tak terbatas di lingkungannya, maka angka di atas akan terus naik.

Selama ini orang menganggap sumber pangan hanya yang ada di warung, pasar tradisional dan tempat penjualan lain yang butuh uang untuk berbelanja. Kasus kemiskinan yang terjadi tidak berada di kota besar, kota kecil bahkan di pedesaan. Desa tempat sumber pangan seharusnya berlimpah dan tinggal dibudidayakan oleh warganya. Termasuk tanaman liar yang tumbuh tanpa harus ada perawatan, bisa dijadikan sumber pangan. Tanaman liar bisa didapatkan dengan mudah tanpa mengeluarkan uang.

Bahkan kandungan gizi tanaman liar tak kalah dari tanaman budidaya. Bagi warga kota bisa memetik krokot yang tumbuh di sela batu di jalanan. Saya melihat sendiri gimana krokot tumbuh subur di sela paving dekat tempat tinggal. Tanaman krokot memiliki nilai gizi yaitu mengandung asam lemak omega-3 atau setara dengan ikan laut. Asam lemak omega-3 ini penting karena tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia. 

Tanaman krokot juga mengandung vitamin A, vitamin C, Magnesium, Mangan, Kalium, Kalsium, dan vitamin B1, B2, B3, folat, tembaga, dan fosfor. Cukup banyak juga nilai gizi dalam tanaman krokot yang tumbuh liar ini ya.

Kepedulian Hayu Dyah Patria Mengangkat Tanaman Liar Sebagai Sumber Pangan

Ketertarikan perempuan kelahiran Gresik, 27 Januari 1981, pada tanaman liar berawal saat kuliah di Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Saat menjadi mahasiswi, dia melakukan penelitian tentang kandungan gizi mangrove. Kemudian usai lulus kuliah, dia melanjutkan ketertarikannya untuk meneliti tanaman liar. Kegiatan ini dilakukannya pada tahun 2004 di daerah Malang.

Setelah penelitian tersebut, mulai lah Hayu mengajak masyarakat memanfaatkan tanaman liar. Hingga dia pun mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Mantasa pada tahun 2009. Mantasa adalah lembaga pemberdayaan masyarakat yang fokus pada pemanfaatan tanaman liar untuk bahan pangan. 

Hayu bersama tim Mantasa mulai mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan pangan liar beserta pengetahuan tradisional di baliknya, dan saat ini setidaknya telah mendokumentasikan 400 jenis tumbuhan pangan liar. Dia pun melakukan berbagai kegiatan untuk mempromosikan kembali pemanfaatan tumbuhan pangan liar untuk mencapai kedaulatan pangan dan gizi, terutama di tingkat lokal. 

Hayu percaya bahwa solusi lokal adalah solusi yang terbaik dalam menangani masalah kelaparan di Indonesia. Dan menurutnya, perempuan adalah aktor penting namun tidak diakui perannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan gizi. Karena itu dalam setiap kegiatannya dia lebih banyak bekerja dengan perempuan dan menikmati menimba ilmu, pengetahuan dan ketrampilan dari mereka.

Desa Galengdowo Kabupaten Jombang, Jawa Timur terpilih menjadi tempat pembudidayaan tanaman liara. Desa Galengdowo terpilih karena merupakan desa miskin namun memiliki sumber daya alam hayati yang melimpah.

Hayu Dyah menggandeng ibu-ibu rumah tangga di Desa Galengdowo untuk memanfaatkan tanaman liar menjadi bernilai ekonomi. Tanaman liar tersebut akan disulap menjadi beragam makanan, seperti kue, selai, dan aneka minuman kesehatan. Di sini peran Hayu fokus melakukan pendampingan yang dimulai dari pemilihan tanaman, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran.



Kini, makanan berbahan tanaman liar dari Desa Galengdowo sudah berhasil dipasarkan ke berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Harga jualnya bervariasi mulai dari Rp 2.000 sampai dengan Rp 25.000 per buah.

Upaya Hayu Dyah dan Dapur Komunitas Meningkatkan Kualitas Hidup Warga Dusun Mendira

Kegiatan yang dilakukan Hayu Dyah tidak terhenti hanya di Desa Galengdowo. Seperti yang saya tuliskan di awal, Hayu Dyah mulai melirik Dusun Mendira yang terletak di desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasi desa ini berjarak 2.5 jam dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau menggunakan transportasi publik (bis) dan ojek.

Hayu Dyah mengumpulkan ibu-ibu dan meminta mereka menyebutkan tanaman yang selama ini dikonsumsi. Beberapa ibu menjawab tanaman yang mereka ambil dari hutan yaitu sintrong, pegagan, bayam banci, suwek, dan gadung dan masih banyak lagi. Ibu-ibu ini tanpa sadar mengutarakan isi kepalanya dengan perbendaharaan tentang sumber pangan lokal. Dalam waktu satu jam mereka menyebutkan sekitar 100 tanaman hingga Hayu Dyah pun menuliskannya dan menempelkan di dinding.

Ramban tanaman liar untuk sumber pangan


Dari sini lah Hayu Dyah mengajak ibu-ibu ramban (memetik/memanen) sayuran. Mereka menikmati kegiatan tersebut sambil diselingi cerita keseharian termasuk dengan keluarga. Sesekali terbit gelak tawa saat mendengar cerita tetangganya. Hayu Dyah merasa senang dengan kegiatan tersebut karena tingkah ibu-ibu ini menjadi sumber inspirasinya juga. Kekonyolan mereka yang saling meledek tetangga, menjadi silaturahmi yang mengeratkan hubungan sesama warga. 

Dusun Mendira adalah dusun terakhir di desa Panglungan sebelum memasuki wilayah pegunungan Anjasmara. Hayu mengajak 8 ibu-ibu di Dusun Mendira membentuk Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA). Mereka mulai menanam 40 jenis tanaman liar di kebun seluas 3.000 meter persegi secara bertahap. Hasil kebun ini sebagian dibagi untuk kebutuhan dapur mereka sendiri. Sedangkan sisanya dijual di pasar organik setiap bulan sekali di Surabaya.

Mereka bahkan tidak peduli ketika orang sesama warga dusun memandang remeh kegiatan tersebut. Menurut warga dusun, tanaman liar yang hanya dibuang tidak memiliki nilai ekonomis. Warga dusun lain itu tidak mengetahui bahwa tanaman yang dianggap sepele tersebut memiliki nutrisi yang tidak kalah dengan kangkung, tomat, wortel, dan sayuran lain yang dijual di pasar.

Langkah Hayu Dyah mulai dilirik oleh pihak lain yang memiliki kepedulian sama dengan pelestarian alam dan kemandirian pangan. Kegiatan yang dibuka dan mengundang masyarakat luas yaitu Program Residensi Dapur Komunitas Mendira. Kegiatan berlangsung awal Januari 2016 yaitu melestarikan pangan lokal dengan cara memproduksi, mengonsumsi, dan memodifikasi. 

Masyarakat umum diajak menjadi warga namun tidak harus menetap di Dusun Mendira. Hanya komitmen masyarakat yang diharapkan bisa mewujudkan konsep awal dapur ekologis. Peserta yang terpilih akan mendapat dana selama proses residensi berlangsung. Beberapa praktisi ahli akan mendampingi peserta, yaitu :

- Yu Sing, Studio Akanoma, Bandung
- Tukidul Yunondro, Komunitas Teknologi Tepat Guna (TeTeg), Yogyakarta
- Hayu Dyah, Mantasa, Surabaya
- Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA), Jombang

Dapur Komunitas ini lokasinya di sebelah kebun agroekologi. Tempat eksperimen dan pengolahan beragam varietas tanaman lokal yang tumbuh di Dusun Mendira.

Kegiatan yang didukung oleh beberapa komunitas ini menganggap cara paling efektif melestarikan pangan lokal adalah dengan memproduksi, mengonsumsi dan memodifikasi. Hasil dari dapur komunitas ini adalah produk-produk pangan lokal Dusun Mendira yang nanti akan dijual dan didistribusikan di daerah perkotaan.

Dapur Komunitas juga akan dijadikan percontohan sebuah dapur ekologis yang ramah lingkungan. Mereka berharap Dusun Mendira bisa menjadi tempat wisata edukasi agroekologi di kemudian hari.

Beberapa konsep dapur ekologis yang ingin dicapai adalah:

- Penggunaan materi-materi yang tersedia di lingkungan untuk pembangunan dapur ekologis.
- Estetika dan desain yang memperhatikan lingkungan.
- Pemanfaatan limbah dapur untuk kompos yang akan digunakan untuk kebun agroekologi.
- Penggunaan biogas sebagai sumber energi dapur.

Tujuan akhir kegiatan ini adalah menciptakan percontohan dapur ekologis ramah lingkungan yang berlokasi di kebun agroekologis di Dusun Mendira.

Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA) ingin meningkatkan kualitas hidup di dusun mereka dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional dan keragaman hayati. Tahun lalu, kelompok ini memberanikan diri untuk menyewa lahan desa yang dipergunakan sebagai lahan percobaan dan pembudidayaan berbagai tanaman pangan liar. 

Ibu-Ibu KPSKA

Mereka ingin agar warga dusun dan anak-anak yang menjadi generasi penerus akan tetap mengonsumi tanaman yang sudah dibudidayakan tersebut. Tanaman yang sejatinya sudah dikonsumsi selama ratusan tahun namun mulai dilupakan. KPSKA juga mengajak anak-anak untuk ikut mengenal nilai gizi makanan yang disajikan di dapur keluarga. Agar anak-anak kelak ketika tumbuh dewasa, akan tetap melestarikan tanaman liar dan menjadi sumber pangan warga.

Ketahanan pangan dimulai dari ibu-ibu, karena mereka yang memikirkan menu masakan, memasaknya, dan menyajikannya untuk keluarga. Dan Hayu Dyah Patria menjadi sumber inspirasi ibu-ibu di berbagai daerah di Indonesia. Wassalamualaikum.


Sumber Materi dan foto :

- https://ayosehat.kemkes.go.id/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-216-dari-244
- https://womensearthalliance.org/hayu-dyah-patria/
-https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160516_trensosial_getinspired_hayu_diah
- https://ayorek.org/events/undangan-terbuka-program-residensi-dapur-komunitas-mendira/
-https://sohib.indonesiabaik.id/article/pulih-bersama-wanita-lembah-anjasmara-7XFDo

12 komentar:

  1. Wah keren banget nih kegiatannya bisa menjadikan desa tersebut maju

    BalasHapus
  2. Ternyata tidak semua tanaman liar ini tidak bernilai ya. Ada juga yang bisa dijual

    BalasHapus
  3. Lumayan nih ya, Kak tanamannya bisa dijual. Untuk harganya juga lumayan nih

    BalasHapus
  4. Ternyata di Jombang, Jawa Timur ini menjadi salah satu penghasil tanaman liar yang menghasilkan ya

    BalasHapus
  5. Perjuangan Ibu Hayu Diah ini memang perlu diberi apresiasi nih. Keren sekali

    BalasHapus
  6. Waah..keren sekali perjuangan mba Dyah Hayu dkk ini.. Jadi tertarik utk mengulik lebih dalam ttg pangan dari tanaman liar ini. Terimakasih sharing infonya ya mba..

    BalasHapus
  7. MasyaAllah, keren!
    Inspiratif banget 😍 seneng banget aku ngikutin konten2 meramban di Instagram. Jadi pengen kepo Mba Dyah Hayu deh

    BalasHapus
  8. Keren banget bisa membudidayakan bahan pangan dari tanaman liar, ya. Gampangnya, sih, kalau liar aja bisa tumbuh, apa lagi jika dibudidayakan to

    BalasHapus
  9. Keren! Alam sudah menyediakan berbagai macam tanaman yang bermanfaat, tapi banyak yang belum kita tahu bisa dimakan atau tidak. Jadi pengen ke Mendira deh belajar langsung sama Mbak Dyah

    BalasHapus
  10. The real influencer mba Hayu dyah, mantap banget meskipun terlihat sepele, 'hanya tanaman liar yang bisa dimanfaatkan' tapi impactnya bagus untuk memajukan kesejahteraan rakyat.

    BalasHapus
  11. Tanaman liar yang diberdayaka jadinya, ibuku juga sekarang sudah nggak mau nanem yang nggak ada fungsinya wkwkwk ... pokoknya yang bisa dipanen dan dijadikan masakan

    BalasHapus
  12. Selalu takjub sama perempuan2 inspiratif macam beliau mbak. Ga hanya memikirkan diri sendiri tp gmn caranya mrmberdayakan perempuan disekitarnya

    BalasHapus