November 2012 - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Rabu, 28 November 2012

Merawat Orang Tua Yang Sakit
November 28, 2012 22 Comments


Tulisan ini dimuat di Majalah Kartini, edisi 2325 tgl 28/6/2012

MERAWAT  ORANG TUA YANG SAKIT DENGAN HATI IKHLAS

            Setiap besuk orang sakit yang rawat inap di rumah, aku selalu membayangkan kamar yang pengap dan bau khas penyakit.  Atau menjumpai sprei yang kusam karena jarang diganti.  Itu pun masih ditambah dengan bau obat antibiotik yang menyergap hidung.  Ini pengalaman yang sering aku jumpai.  Dan bukan bermaksud buruk bila akhirnya hidungku mengerut tak tahan.  Bahkan kadang aku mesti menahan nafas. 
            Sore itu aku janjian dengan sepupu, akan membesuk bulik yang mengalami stroke.  Aku sudah membayangkan kamar dengan aroma tertentu.  Biasanya penderita stroke yang sudah parah, akan menggunakan pampers agar memudahkan dirinya sendiri dan orang yang merawatnya.  Meski ada juga penderita yang tak nyaman menggunakannya.  Dan hal ini menjadi bahan pertikaian dengan keluarga atau orang yang merawatnya.
            Namun tak demikian yang aku jumpai di kamar bulik.  Begitu aku masuk ke kamar beliau, harum aromatherapi  yang menyegarkan, menyambut kedatangan kami.  Di atas pembaringan, beliau tidur dengan nyaman.  Pakaian yang dikenakannya bersih dan wangi.  Saat aku mendekat untuk mencium pipinya, aroma sabun mandi masih menguarkan wangi yang khas.   
            Mataku masih menjelajah seisi kamar.  Kali ini pandanganku terpusat pada kertas ukuran folio yang berisi tulisan jadwal piket.  Ah, rupanya ada sesuatu dibalik kebersihan ruangan ini.   
            Dari cerita putra-putrinya, selama ini telah disusun jadwal bagi anak dan menantu untuk merawat ibundanya.  Tak ada alasan tak ada waktu, karena semua memperoleh giliran jaga sesuai keinginan masing-masing.  Jadi, kegiatan bulik mulai pagi hari hingga menjelang tidur malam, selalu ada dua orang anak dan menantu yang siaga merawat.  Tidak sekedar merawat, seperti memandikan bulik serta mengganti pakaian yang bersih setiap pagi dan sore hari.  Putra-putrinya dan menantu bulik juga menyuapi makanan dan meminumkan obat. 
            Seperti penderita stroke yang tak bisa lagi beraktivitas secara normal.  Butuh seorang perawat yang memiliki kesabaran ekstra dan tekat kuat saat tiba waktu makan.  Ketika bulik bisa menelan lebih dari empat sendok makan, pujian akan terlontar dari putra atau putrinya.  Namun saat mereka tak mampu menyuapkan satu sendok pun, tak ada ucapan jengkel atau marah kepada sang ibu.  Jurus merayu sambil melontarkan candaan menjadi senjata untuk meluluhkan hati sang ibu agar berkenan membuka mulut serta menelan makanan.
            Begitu halnya kala meminumkan obat.  Sepupuku yang saat itu bertugas menjaga sang ibu bercerita,”Ibu nggak mau dirawat di rumah sakit.  Mungkin ibu trauma saat merawat bapak dulu.  Jadi, sebelum sakit ibu tambah parah, beliau sempat berucap tak mau dibawa ke rumah sakit,”   
            “Kalau bulik dipaksa aja, gimana?”
            “Uhhh…sudah mbak.  Tapi ibu tetap bergeming. Ya, akhirnya kami rawat ibu seperti perawat di rumah sakit.  Kamar harus selalu bersih. Sprei harus diganti setiap hari.  Ibu juga tetap mandi dua kali sehari, meski dengan menyeka tubuhnya pakai waslap yang dicelupkan ke air hangat.  Dan pakai sabun juga lho, mbak,”
            Aku manggut-manggut saja mendengarkan.  Pantas saja setiap orang yang membezuk bulik, selalu memuji kondisi kamar dan si penderita yang selalu tampil bersih.  Kesungguhan putra-putri bulik memang patut diacungi jempol.  Menantunya pun tak kalah hebat.  Rumah mereka tinggalkan setiap pagi selama enam hari.  Putri bungsu bulik yang tinggal serumah, memiliki jadwal merawat sang ibu saat hari Minggu.  Meski tentu saja jadwal piket ini tidak seketat aturan di rumah sakit.  Mereka bisa saling bertukar hari bila ada keperluan yang cukup mendesak.  Bagi mereka, limpahan kasih sayang pada sang ibu saat menderita sakit,  tak pernah cukup untuk menggantikan setiap perhatian yang pernah mereka terima.              
Yang membuat aku semakin takjub, karena melihat sendiri pemandangan ini, adalah keikhlasan anak dan menantunya menuntun beliau agar tetap menunaikan sholat lima waktu.  Dalam keadaan sakit, bulik memang tetap ingin menjaga sholatnya.  Putra-putri dan menantunya bergantian menuntun bulik mulai berwudlu, memakaikan mukena hingga mengimami sholat.  Semua dilakukan di atas pembaringan, karena bulik sudah tak bisa melakukannya dengan sempurna.
Duh, betapa bahagianya seorang ibu yang memiliki anak dan menantu yang mampu saling tolong menolong dalam ujian kehidupan ini. Dalam ujian sakitnya, aku yakin, ada syukur yang pasti selalu mengalir di  hati dan tubuh sang ibu.  Bersinergi dengan keikhlasan hati dan pikiran yang mampu menerangi rumah ini dengan cahaya kesabaran. Malaikat pun pasti turut berdzikir memandu seluruh penghuni rumah.
            Air mataku mengalir.   Aku meyakini, para sepupuku dan pasangan hidupnya, Insya Allah akan menjadi calon penghuni Surga dari Pintu Keikhlasan merawat sang ibu.  Tak ada keluh kesah yang terdengar dari mulut mereka.  Yang ada malah berbagi kisah lucu, haru dan kesabaran  tentang betapa berlimpah nikmat merawat sang ibu. 
Aku berpikir, mampukah kelak bila orang tuaku sakit, bisa sesabar dan seikhlas mereka menjalaninya?  Keyakinanku ini membutuhkan konsisten yang tinggi dalam bersikap dan melakukan tindakan nyata kelak. Semoga aku mampu merawat kedua orang tuaku dengan kesabaran dan penuh keikhlasan.

                                    ----00----


Reading Time:

Minggu, 25 November 2012

SELEMBAR LIMA PULUH RIBU RUPIAH
November 25, 2012 9 Comments



                Ini adalah kejadian nyata, bukan rekaan. Sebuah peristiwa yang membuat hati kecilku menangis.
                Hari Minggu usai mengikuti acara pelatihan nulis traveler dengan Gol A Gong, aku mampir ke rumah sepupu di wilayah pecinan, Semarang. Dari sini lah asal cerita yang aku tulis dan ingin kubagikan pada semua pembaca.
                Saat itu aku duduk di teras kediaman bulik Yati. Kami berempat, sedang mendengarkan cerita yang cukup menyentuh dari mulut seorang sepupu kami.
                “Dia ngomong sendiri?” sela seorang saudaraku. Ia tak sabar mendengar sepupu kami yang asyik bercerita.
                “Iya! Mbak Elly cerita kalau pipinya ditempel selembar  ‘saxxxxpas’ agar aktingnya berhasil.  Ia berucap, Ya Allah, yang aku tempel di pipi ini memang suatu kebohongan. Aku pun tak ingin sakit gigi beneran. Tapi, aku sangat butuh uang Rp. 50.000,00 untuk berbagai kebutuhan, juga untuk mengisi amplop sumbangan.  Saat kejadian ini kan bulan haji, banyak sekali tetangganya yang punya hajat,”
                Nah, berangkat lah mbak Elly ini menemui  orang yang akan dimintai bantuan berupa pinjaman uang.  Melihat kondisi orang yang datang ingin pinjam uang sedang sakit gigi, tentu saja selembar uang Rp. 50.000,00 itu berpindah tangan kepada mbak Elly.  Berlalulah kakak sepupu kami ini dengan penuh syukur karena telah memperoleh pinjaman .
                “Coba bayangkan, kasihan kan, hanya lima puluh ribu saja, mbak Elly sampai pinjam dengan akting sakit gigi?!”
                Kami yang mendengarnya terdiam sembari aku yakin, dalam hati pasti merasa sedih.  Kakak sepupu kami ini memang kurang beruntung. Meski sesekali kami juga membantu, tak mungkin setiap kebutuhannya bisa kami penuhi.
                Sepulang dari rumah saudara, aku ceritakan hal ini pada suami.  Usai cerita, kami mulai mengambil wudlu karena adzan Maghrib telah berkumandang dari masjid dekat rumah.
                 Hari ini aku memang tidak menyiapkan masakan untuk makan malam. Biasanya, sesekali pada Minggu malam, kami akan membeli masakan jadi di luar rumah.  Selembar uang lima puluh ribu sudah dikeluarkan dari dompet suami dan diberikan pada putra sulung kami.  Suami bertanya ingin makan apa, yang tentunya memperolah jawaban berbeda. Masing-masing punya selera tak sama malam ini. Tarik ulur ini malah membuat aku seketika terdiam dan mengingat cerita sepupuku.
                Aku langsung mengambil uang lima puluh ribu dari tangan anakku.
                “Napa sih bu?” tanya si sulung bingung dengan sikapku.
                Aku pun menjelaskan,”Tadi kan ibu baru cerita kisah tentang bude kamu.  Dengan uang selembar ini, bude mesti meminjam uang untuk beli beras, lauk dan sayur sampai mengisi amplop untuk sumbangan hajat mantu.  Bayangkan, masa kita mau beli makan malam dengan uang ini untuk sekali makan, padahal saudara kita ada yang kesusahan?”
                “Yaaa, nggak jadi makan sate kambing nih,” celetuk si bungsu.
                “Nggak usah dulu ya, ibu masakin telur dikasih tahu dan onclang aja. Mau kan?”
                Alhamdulillah, putra kami setuju. Dan, lauk sederhana ini memang salah satu favorit mereka.
                “Uang ini besok ibu berikan untuk bude Elly, biar bisa dijadikan modal jualan lagi. Setuju kan?”
                Tentu saja usulku ini disetujui anak-anak dan suami.  Selama ini bude Elly memang sering membantu keluargaku ketika kami punya hajat. Meski ia tak mau diberi sejumlah uang, karena menurutnya wajar sebagai saudara saling membantu dalam bentuk apapun. Dan kebetulan yang ia mampu sumbangkan adalah tenaga. Tapi, kami pun memberikan uang itu bukan untuk membayar tenaganya. Melainkan karena ingin berbagi sedikit kelebihan rezeki untuk saudara kami.
                Dari kisah kakak sepupuku ini, aku jadi ingat begitu mudahnya aku membelanjakan uang untuk keperluan sederhana tanpa memikirkan kondisi orang lain, bisa saudara, tetangga, atau teman yang  tak mampu meski sekedar membeli beras seliter atau lauk sederhana seperti tempe selonjor.  Sebuah peristiwa yang mampu menampar kesadaranku agar lebih menghargai nilai selembar lima puluh ribu rupiah, bukan sekedar nominal uang.  Melainkan nilai manfaat yang mungkin berbeda bagi saudara, tetangga, dan teman yang masih kurang beruntung penghidupannya.
Reading Time:
Cerpen : KEINGINAN BAPAK
November 25, 2012 7 Comments


 Cerpen ini dimuat di majalah Paras bulan Februari 2012. Yang ini versi asli sebelum diedit sedikit oleh editor. 
BAPAK
            Sudah hampir seminggu bapak berdiam di dalam kamar tidurnya.  Tak banyak lagi aktivitas yang dilakukan beliau.  Keluar kamar hanya untuk mandi dan makan.  Padahal, biasanya bapak rajin sekali jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan usai sholat Subuh.
            “Kita harus telepon Bondan.  Dia perlu tahu  kejadian ini, mas,” cetus Wiwid.
            “Ya sudah telepon adikmu sekarang.  Jangan sampai kita disalahkan nantinya,” jawab Kamal.
            Bondan tinggal tak jauh dari rumah mereka.  Meski tidak setiap hari, tapi dia dan istrinya acap menyambangi rumah ini.  Untunglah Bondan sedang di rumah.  Dia berjanji akan berkunjung malam ini usai sholat Maghrib.
Reading Time:
PENDIDIKAN KARAKTER MENJADIKAN ANAK LEBIH UNGGUL
November 25, 20121 Comments
Anak adalah titipan Tuhan.  Kelak kita akan diminta pertanggunjawaban olehNYA, bagaimana kita memperlakukan, menjadikan, dan mengupayakan masa depan anak kita.  Namun, anak juga anugerah yang tak ternilai harganya.  Sebagai orang tua, kita memang diharapkan mampu mencetak anak-anak yang berkepribadian istimewa.  

Beban orang tua saat ini sangat berat.  Tidak hanya menjaga lingkungan sosial saat membesarkan anak-anaknya.  Tapi juga harus mampu memilih pendidikan yang cocok untuk buah hatinya. Cocok di sini tak cuma dengan isi kantong kita.  Karena yang paling penting itu juga harus cocok dengan minat dan kepribadian si anak.

Penilaian rata-rata orang tua dari jaman dulu sampai detik ini masih seragam.  Anak hebat adalah anak yang sering meraih rangking 5 besar di kelas, kalau perlu se-angkatan / sesekolah menjadi lulusan terbaik.  Tidak hanya itu, dia juga harus sering menang saat ikut berbagai even lomba.

Aku beruntung menjadi putri sulung dari empat bersaudara.  Bapak adalah orang yang selalu menjadi penyemangatku.  Dari beliau juga aku kenang dengan yang namanya kompetisi.  Tapi, tetep saja tak ada kewajiban dari bapak bahwa putrinya ini harus juara 1.  Karena itu, aku sangat senang mengikuti beberapa lomba yang menjadi minatku.  Waktu masih pelajar SMA, aku pernah mewakili sekolah mengikuti berbagai lomba Pramuka.  Juga lomba Lintas Alam yang diselenggarakan oleh sebuah STM (sekarang SMK) juga Wapeala UNDIP.  Atau, lomba gerak jalan dan PBB setiap Perayaan 17 Agustus di kodya Semarang.  Semuanya nggak menang.  Tapi, bapak tetep bangga pada putrinya ini.  Karena aku jadi aktif dalam kegiatan dan menjadi pribadi yang mudah bergaul dan terbuka.

Yup!  Sebelum menginjak pendidikan tingkat atas (SMA), aku termasuk berpribadi introvert.  Pendiam dan pemalu.  Bahkan seorang teman SMP pernah bilang, bahwa banyak teman cowok yang takut mendekat karena aku terlalu pendiam.  Dan, penilaian ini disetujui oleh mantan pacarku alias suami yang notabene adalah teman SMP juga.  Tapi, kami baru berhubungan lagi setelah aku hampir lulus kuliah lho, hehe...

Nah, kembali ke...laptop, eh salah!  Kembali ke topik awal.  
Aku tak hanya aktif dalam kegiatan di alam bebas.  Beberapa lomba menulis pun sudah mulai aku ikuti saat menjadi pelajar SMA ini.  Awalnya dari lomba bikin puisi tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang.  Meski gak menang, tapi puisiku terpilih untuk dibukukan bersama pemenang utama.  

Ada juga lomba nulis yang diadakan oleh Kementrian LIngkungan Hidup.   Lomba nulis yang lain tak begitu kuingat karena pengalaman ini sudah berbilang tahun yang lalu.  Dari sekian lomba yang aku ikuti, jarang banget memilihku jadi pemenang.  Aku sih tak manyun atau marah.  Namanya juga lomba.  Ada pemenang, tentu juga ada juga yang kalah.  Never mind :)

Tapi, menjadi pribadi yang bisa menerima kekalahan tentulah butuh hati yang ikhlas.  Semua berpulang pada pribadi yang bersangkutan.  Karena itulah, aku selalu belajar menjadi ibu yang ikhlas dengan setiap langkah anak-anakku menapak jejak hidupnya.

Sebagai orang tua, aku tak ingin memaksakan kehendak agar anak-anak selalu berprestasi.  Terus terang, aku takut, keinginan kami sebagai orang tua tak sebanding dengan kemampuan anak-anak.

Bagaimanapun kita memberi bekal kepandaian berupa tambahan pelajaran seperti les privat, bimbel dan kursus ini itu, kalau memang anak-anak tak menikmati juga jadi percuma.  

Nah, prinsipku dalam mendidik anak-anak adalah, kami hanya menginginkan kedua putra kami menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi keluarga serta lingkungannya.  Tidak perlu menjadi peraih ranking pertama.  Tidak harus selalu menang setiap ikut lomba mewakili sekolah (si sulung).  Tidak harus menjadi anak manis dengan berdiam di rumah.

Cukuplah, ketika dia bisa menempatkan diri di mana pun dia berada.  Mampu berbagi dengan ketrampilan yang dimilikinya pada kerabat dan teman serta tetangga juga.  Menjadi saudara yang menyayangi kerabatnya, serta hormat pada orang yang dituakan.  Dan, menjadi teman yang peduli dengan kondisi sosial di lingkungan tempat tinggalnya.

Dan, aku senang dengan kegiatan putra sulungku yang memilih PMR di sekolahnya sebagai ekskul pilihan.  Karena aku yang pernah bergabung dengan organisasi yang sama (KSR Polines), tahu betul, apa saja kegiatan di organisasi ini.  Menjadi penolong, melatih empati, belajar menangani P3k dan bencana, serta aktif mengelola kegiatan donor darah.  Ketika ngobrol kegiatan PMR di sekolah dengan si sulung, jadi nyambung.  Sayangnya, dia jadi terlalu aktif  dengan kegiatan ini sampai kelas XII ini.  Wah, waktu aku memberi warning agar mengurangi kegiatan, serasa dejavu, 'Aku juga pernah diwarning oleh bapak karena terlalu banyak kegiatan di kampus'  

Menjadi siswa pintar itu halal, hehe... Tapi kalau jadi pintar namun tak bisa trampil di masyarakat, atau menjadi makhluk asosial, tentu tak halal yaaaa...

Kesimpulannya sih, aku lebih senang memiliki anak-anak yang prestasi akademiknya biasa saja.  Namun ketrampilan hidup di masyarakat is the best.  Dan ia kreatif ketika menemukan persoalan-persoalan yang mulai dihadapinya sebagai manusia.  

Nah, si bungsu tergolong anak yang kreatif.  Sejak kecil ia sudah aktfi bikin ketrampilan yang mengagumkan.  Seperti pada saat hari ibu tanggal 22 Desember 2004, kalah tidak salah tahunnya ya :)  
Sore sepulang dari nguli, rasa penat di tubuhku sirna tak berbekas ketika menjumpai senyum riang Naufal dengan tangan yang terulur pada bundanya ini.  Waahhhh...ada rangkaian bunga berujud gambar dengan warna-warni krayon di atas selembar kertas gambar.  Kertas itu ia gulung seperti bentuk buket bunga.  Hihi...seraya melayang hati dan jantungku menerima buket dari si bungsu.  Manisnya :)

Begitu pun saat ada pelajaran ketrampilan di sekolahnya.  Dari bikin layang-layang, maket rumah, kitiran dari kertas dan potongan bambu, telpon dari bekas kaleng susu, semua dikerjakan sendiri.  Selama ini, kami selalu membantu si kakak untuk menyiapkan ketrampilan di rumah.  Di kelas tinggal merangkai.  Tapi, si bungsu selalu ngotot, bahwa ia bisa mengerjakannya sendiri.  Memang betul ucapannya.  Dan hasilnya pun melebihi buatan si sulung dengan bantuan kami.

Kembali tahun ini aku mendapatkan hadiah dari si bungsu.  Kali ini berupa kartu lebaran yang dibuat karena tugas sekolah di kegiatan Pesantren Ramadhan 1433 H yang lalu.  Kartu lebaran ini sampai di rumah H + 3 dengan diantar oleh petugas pos.  Wah, senangnya.  Bentuknya sederhana.  Tulisannya juga gak komplit. Kurang keterangan tahun, hihi...  But, it's nice!

Si bungsu memang butuh motivator agar tak malu-malu menunjukkan ketrampilan tangannya.  Padahal, hasil karyanya berupa komik cukup membuat aku bangga.  Tapi, ia tak ingin orang luar tahu dengan kepandaiannya ini.  Ia seorang otodidak.  Sepertinya, kecermatan visual dan motorik nya mampu bersinergi menghasilkan karya yang ciamik.  

Tugas kami sebagai orang tua tentunya harus mengarahkan kedua putra kami menjadi lebih berkembang. 

Reading Time: