Assalamualaikum Sobat. Gerimis dengan ritme teratur menyambut kedatangan saya dan rombongan Jateng On The Spot 2020. Rombongan kecil dari Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini tiba di Rumah Budaya Dieng, Dieng Kulon, Banjarnegara.
Udara dingin pegunungan menerpa kulit wajah. Saya tersenyum mendapat sambutan suasana yang sudah begitu dirindukan berbulan-bulan ini.
Dieng, udara dingin, pemandangan alam nan cantik, mendekap saya dalam balutan kenangan yang tertanam kuat sejak pertama mengenalnya belasan tahun lalu. Dieng adalah tempat yang selalu memanggil setiap wisatawan datang kembali. Dieng tak pernah membuat saya bosan untuk berkunjung, dengan orang yang sama maupun berbeda.
Saya beruntung kali ini bisa mengunjungi kembali dataran tinggi Dieng bersama rombongan dari Disporapar Jateng. Bersama teman blogger, media, dan penggiat wisata dari berbagai daerah. Kembali saya merasa beruntung mendapat teman baru yang memiliki satu kesamaan hobi, traveling, merekam jejak dalam bentuk video dan tulisan. Satu perpaduan yang pastinya bakal menjadi catatan menarik tiga hari mendatang.
Adaptasi Kebiasaan Baru Dalam Wisata di Jateng
Bagaimana kabar kalian yang sejak bulan Februari 2020 di rumah aja? Yang biasanya bisa setiap bulan merencanakan jalan-jalan di wilayah lokal. Yang sesekali merancang itinerary traveling ke luar negeri. Namun nyatanya saat ini hanya mampu menyaksikan drama Korea di rumah aja, sambil gegoleran di kasur.
Seperti yang kalian tahu, sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, semua obyek wisata di Jawa Tengah ditutup. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran covid-19. Imbasnya adalah jumlah kunjungan wisatawan ke Jawa Tengah menurun drastis. Hal ini berujung pada kegiatan perekonomian para penggerak wisata mengalami kerugian. Karena tak ada lagi pemasukan yang menjadi tulang punggung penghasil keuangan daerah setempat.
Hingga awal Juli 2020, sejumlah tempat wisata mulai dibuka dengan segala ketentuan dan persyaratan. Aturan dari Gugus Tugas Covid-19 setiap daerah yang memiliki kebijaksanaan masing-masing sesuai kasus di daerahnya.
Beberapa aturan masih seragam, seperti menyediakan tempat cuci tangan dengan air dari kran yang mengalir dan sabun cuci. Selalu menyampaikan himbauan agar pengunjung mengenakan masker. Mengingatkan pengunjung agar jaga jarak dengan pengunjung lain.
Meski kadang di lapangan tak semudah menjalankan aturan ini. Karena karakter pengunjung yang beragam dan membiasakan kebiasaan baru ini tentunya butuh waktu yang tidak hanya sebulan, tapi bisa saja hingga bertahun-tahun. Karena virus ini tidak bisa diprediksi kapan bakal menghilang. Kita sebagai manusia yang dikenal mampu beradaptasi, yang harus melakukan kebiasaan baru untuk tetap survive.
Selama tiga hari pula saya, bersama teman-teman blogger, media, dan penggiat wisata, serta pegawai Disporapar, mengikuti serangkaian kegiatan di Dieng - Posong.
Apa saja kegiatan kami selama tiga hari di sana? Berikut ini cerita saya :
- Bincang Bersama Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah, M Ngainirrichadl SHI
|
Dok. Herman |
Dewani View Resto & Cafe, Wonosobo menjadi tempat bincang-bincang tentang pariwisata dan permasalahan yang muncul di saat pandemi. Peserta Jateng on The Spot 2020 diajak berbincang langsung dengan Sekretaris Komisi B DPRD Jawa Tengah, M Ngainirrichadl SHI.
Pada kesempatan tersebut, Ngainirrichadl menyambut baik kegiatan Jateng on The Spot yang merupakan salah satu upaya untuk memulihkan sektor pariwisata di Jawa Tengah.
|
Dok. Pribadi, dari WAG Jateng on The Spot 2020 |
"Harapan saya, kegiatan ini tidak hanya bersifat insidental atau seremonial. Tapi bisa terus berlanjut dan rutin sehingga bisa ikut membantu menggerakkan potensi wisata di Jawa Tengah,"
Menurut pria yang sudah dua periode menjadi anggota dewan ini, potensi wisata di Jawa Tengah tidak kalah dengan daerah lain. Selama 5 hingga 6 bulan ini pelaku wisata di berbagai daerah tidak bisa mendapatkan penghasilan. Karena sejak pandemi semua tempat wisata ditutup untuk kunjungan wisatawan. Nah saat ini ada beberapa tempat wisata yang sudah dibuka atas persetujuan gugus tugas Covid. Tentu dengan aturan yang dihimbau seperti melaksankan protokol kesehatan.
Bila digarap secara maksimal, bukan tidak mungkin Jawa Tengah menjadi surganya wisata dan bisa mengalahkan Denpasar, Bali. Karena ada Karimun Jawa, juga pantai-pantai di Wonogiri yang memiliki keindahan tak kalah seperti di Bali.
Dalam kesempatan itu peserta juga diberi kesempatan untuk menyampaikan saran atau gagasan terkait pengembangan wisata di Jawa Tengah. Ada penggiat wisata yang mengusulkan untuk dibuatkan semacam aplikasi pemandu wisata. Jadi wisatawan yang ingin jalan-jalan, bisa akses aplikasi dan memilih tempat wisata mana yang akan dijadikan destinasi wisata.
Juga usulan agar infraktruktur yang menuju tempat wisata bisa dibenahi. Dan nantinya bisa terkoneksi antar kota yang jadi tempat wisata. Sebenarnya ada banyak saran yang muncul dalam bincang seru ini. Namun sayangnya saya tak bisa menuliskannya di sini semua.
- Belajar Membuat Kerajinan Lukis Dengan Media Kayu
Bincang peserta dengan anggota dewan Komisi B DPRD Jateng ini berlangsung kurang lebih satu jam. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Rumah Budaya Dieng di Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Di sana telah menunggu pengrajin Untung Yulianto, pemuda desa setempat yang sudah menerima pesanan setiap hari.
Untung merupakan seorang pembuat kerajinan berbahan bambu, kayu, hingga bahan daur ulang lainnya untuk dijadikan suvenir khas Dieng. Alasan pemilihan bahan bambu dan kayu karena keduanya mudah ditemukan di daerah tersebut. Mereka membawa kedua bahan tersebut, dengan mengikuti pelatihan di Jogja.
|
Dok. Pribadi
|
Untung juga mengajari para peserta untuk menghias miniatur wayang Semar dari bambu dengan memakai media cat air. Dan hasil kerajinan ini boleh dibawa pulang oleh peserta sebagai cindera mata.
Mas Alif Fauzi selaku Ketua Pokdarwis Dieng Pendawa, menjelaskan tentang paket wisata sekaligus menginap di homestay. Ada banyak pilihan paket wisata yang diperuntukkan anak sekolah. Tinggal bersama pemilik homestay, anak-anak ini diajak mengikuti kegiatan tuan rumah. Tiap anak bisa saja memiliki pengalaman yang berbeda. Ada anak yang kebetulan mendapatkan pemilik homestay ternyata tidak sedang panen kentang. Mereka diajak membersihkan sisa panen. Bisa saja ada yang beruntung mendapatkan pemilik rumah sedang panen kentang. Nah hasil laporannya akan berbeda dengan anak lain yang tinggal dengan homestay berbeda.
- Menengok Pembuatan Carica
Dari Rumah Budaya Dieng, kami diajak menengok pembuatan manisan carica di usaha rumahan Trisakti. Ada Hasta, putra mantu Bapak Saroji pemilik Trisakti yang diberikan amanat meneruskan usaha keluarga. Saat itu ibunya keluar kerja dari PT. Dieng Jaya. Dahulu produksi carica awalnya dibuat dalam kemasan botol.
Trisakti adalah usaha rumahan yang pertama kali memproduksi manisan carica di wilayah Dieng Kulon. Usaha ini menjadi pionir dan berkembang hingga diikuti oleh warga lokal.
|
Hasta, penerus usaha Carica TRISAKTI Dok. Pribadi |
Dalam kesempatan ini peserta juga diperlihatkan bagaimana proses produksi carica yang menjadi oleh-oleh khas Dieng. Bahkan Mbak Ika Puspita tak ketinggalan nyoba melakukan proses pembuatan carica.
Di sini juga sekaligus sebagai tempat untuk menjual produk TRISAKTI lainnya. Seperti keripik kentang. Produk kebun yang berlimpah di Dieng adalah kentang. Agar produksi yang berlimpah ini tidak mengalami harga yang jatuh, akhirnya dibudidayakan menjadi produk olahan.
- Sajian Jazz dan Kesenian Lengger di Rumah Budaya Dieng
Usai menyaksikan proses pembuatan carica, kami kembali ke Omah Ndieng. Di sini juga ada pembagian kamar, dan saya bersama mba Archa di kamar paling belakang. Bersebelahan dengan kamar Kasih dan Dini Lintang. Saya sempat mandi sebentar meski airnya dingin karena saya terlambat menyalakan air panas, wkwkwkk.
Sekitar pukul 19.00 kami menuju Rumah Budaya Dieng yang masih satu lokasi dengan Omah Ndieng. Malam itu peserta makan malam sambil menikmati penampilan dari Kailasa Band. Grup musik asli Desa Dieng Kulon yang kerap tampil di acara Jazz Atas Awan Dieng Culture Festival (DCF).
Tidak hanya grup band yang menghibur peserta dnegan lagu-lagu hits pada masanya. Ada juga pertunjukan kesenian sendratari Lengger dari para seniman Dieng Kulon. Saya sudah menantikan kesenian ini sejak mengetahui bakal tampil menghibur peserta. Dahulu saat anak-anak masih kecil, kami sempat nonton kesenian ini di Candi Arjuna.
Mas Alif menjelaskan terlebih dulu cerita tentang Lengger. Lengger sendiri berasal dari kata "Elingo ngger" yang artinya ingat lah nak. Dalam arti panjang disebutkan, ingat lah nak, kalo hidup itu ibaratnya mampir ngombe.
Kesenian ini muncul pada awal peradaban penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga di Dieng. Tarian Lengger disukai oleh masyarakat Dieng. Tarian ini merupakan cerita romantis Dewi Sekartaji dalam mencari pasangannya Panji Asmara Bangun. Kedua pasangan kekasih ini tidak direstui oleh keluarganya. Dewi menjadi penari untuk mencari pasangannya. Tarian ini dimainkan oleh seorang wanita, dengan lima penari pria dengan lima karakter memakai topeng yang berbeda.
Menarik banget sih menyaksikan tarian Lengger ini. Satu persatu penari laki-laki bergantian menari dengan Dewi Sekartaji. Dan puncaknya adalah sang pangeran yang berhasil menggendong Dewi di atas pundaknya. Magis banget sih. Tarian itu mampu menarik perhatian seluruh peserta. Terutama saat penutupan penari wanita dipanggul di pundak penari pria.
- Bermalam di Omah NDieng
Usai acara dengan mata yang digayuti kantuk, kami kembali ke kamar masing-masing. Udara Dieng yang dingin menyusup di sela pakaian. Meski mengenakan baju rangkap dengan jaket, tetap saja rasa dingin menyelimuti tubuh saya.
|
Dokpri |
Omah Ndieng ini memiliki tarif seharga 1.750.000, dengan fasilitas 4 kamar dan kamar mandi di masing-masing kamar. Ada ruang duduk yang bisa digunakan untuk duduk dan bercanda bersama rombongan. Saya membayangkan nginap di Omah Ndieng ini bersama keluarga besar suami. Kami suka sekali nginap di homestay dengan konsep seperti ini. Rumah kayu dengan desain modern minimalis.
Selain kamar mandi dalam yang bersih, ada juga wastafel dan dapur mungil di bagian belakang yang menghadap Museum Dieng Kaliasa. Omah Ndieng ini memang letaknya bersebelahan dengan Museum Dieng Kaliasa. Jadi kalian nggak bakal tersesat kalo pengen nginap di sini.
Ada juga kamar-kamar dengan tarif sewa per kamar 350k/450/550k per malam. Jadi kalian bisa memilih untuk menyewa kamar sesuai dengan kebutuhan.
Bermalam di rumah khas Dieng zaman dahulu ini seakan menghangatkan di tengah udara dingin Dieng. Apalagi menginap di pavilyun yang berisi 4 kamar ini, kalian juga bakal menikmati indahnya panorama di Dieng.
|
Dokpri |
Saat pagi hari, kalian bakal disuguhi pemandangan menakjubkan. Menatap awal munculnya mentari pagi, nampak pegunungan yang berbalut kabut seakan menjadi selimutnya selama semalaman. Menyesap kopi atau teh kesukaan, kalian bisa memilih duduk di ruang tengah atau di teras depan. Sungguh menikmati pemandangan alam milik Sang Pencipta yang patut disyukuri ada di negeri tercinta, Indonesia.
Pagi itu saya mandi lagi meski dingin seakan enggan meninggalkan suasana pagi. Sebelum shalat subuh saya sudah mandi dan bersiap menjemput mentari dari balik gunung. Beruntung pagi itu air panas udah saya siapkan jadi santai aja membasuh tubuh tanpa kedinginan.
- Jelajah Alam ke Telaga Dringo
Usai sarapan kami diajak menuju Telaga Dringo dengan mengendarai Dieng Jeep Wisata. Jeep ini baru berumur 5 bulan yang diniatkan untuk menjemput wisatawan dan mengantarkan ke tempat wisata yang susah dijangkau dengan kendaraan mobil pribadi atau bus.
|
Dokpri |
Jalurnya yang ekstrem memang cocok digunakan sebagai transportasi. Melintasi kebun di kanan kiri jalan yang lebarnya hanya cukup untuk satu mobil di beberapa tempat. Belum lagi kondisi jalan yang naik turun dan berkelok tajam, bikin saya dan Dini yang satu jeep sesekali berteriak kegirangan.
Meski sempat memacu adrenalin, namun sepanjang jalan pemandangan yang tersaji begitu menakjubkan. Perkebunan dengan beragam sayuran, seperti kentang, wortel, daun bawang, kobis, dan lainnya. Di sela-sela sayuran ada juga tanaman carica yang mirip dengan pepaya bantet.
Telaga Dringo terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Berada di ketinggian 2.222 mdpl, telaga ini menyajikan pemandangan yang cantik. Alamnya masih asri, bersih dari polusi, dengan suasana lingkungan yang damai.
Telaga Dringo terbentuk akibat letusan Gunung Sinila pada tahun 1786. Akibat letusan yang menghancurkan gunung Sinila, menyisakan cekungan besar berupa kawah mati. Kemudian lama kelamaan kawah mati ini terisi oleh air hujan dan mata air yang ada di sekitar telaga. Telaga ini mengingatkan pengunjung pada satu telaga di Gunung Semeru di Jawa Timur. Karena itu lah banyak dari pengunjung yang menyebut telaga ini "Ranu Kumbolo' nya Dieng, Jawa Tengah.
Kawasan wisata Telaga Dringo masih berbenah, seperti toilet, tempat parkir, dan lokasi lainnya. Bahkan jalan menuju telaga baru satu bulan ini diaspal mulus. Sebelumnya merupakan jalan makadam.
Pengunjung dilarang mendirikan tenda atau nge-camp di kawasan dekat Telaga Dringo. Karena selain untuk menghindari rusaknya lingkungan yang merupakan situs cagar alam. Di dekat telaga juga merupakan pusatnya embun upas. Yaitu semacam lapisan es di atas permukaan rumput atau tanaman. Jadi dipastikan batasan berkunjung di telaga sampai jam 18.00 WIB. Kalo ingin nge-camp pilhannya ada di atas bukit. Di tempat saya dan teman-teman rombongan Jateng on The Spot 2020 foto bareng.
Di area telaga terdapat ikan khas setempat yaitu ikan braskap, bebek meriwis, dan banyak tanaman dringo. Itu lah makanya dinamakan Telaga Dringo. Wilayah di sini berbatasan dengan Kabupaten Batang. Jadi Telaga Dringo terletak di paling ujung utara Banjarnegara.
- Memacu Adrenalin Bersama Dieng Jeep Wisata ke Kawah Sikidang
Nggak berlama-lama, kami diajak melanjutkan perjalanan menuju Kawah Sikidang. Kali ini saya menikmati pengalaman yang berbeda dari kunjungan ke Kawah Sikidang. Kalo selama ini saya selalu naik mobil pribadi. Kali ini dengan Dieng Jeep Wisata.
Melintas jalan berlumpur, naik turun jalan yang sengaja dibikin untuk jalur off-road, terantuk di atas Jeep, bikin adrenalin meningkat. Belum lagi dengan ulah driver yang senang mengajak penumpang jeep menikmati manuvernya di atas jalan seperti sungai mati. Saya jadi tak peduli dengan baju yang kena cipratan lumpur. Bersama Dini, saya berteriak kegirangan dan tertawa lebar. Kapan lagi coba kami bisa menikmati off road yang sungguh menyenangkan ini. Apakah ada perasaan takut? Enggak, hahahaha. Saya percaya dengan kepiawaian pak Tri selaku driver jeep yang kami tumpangi.
Entah berapa lama perjalanan di atas jalan rusak parah ini berlangsung, ketika tour guide mengajak berhenti di satu titik.
|
Dokpri |
Ah ternyata di sisi kanan terlihat area Kawah Sikidang. Rupanya kami memasuki kawasan kawah tanpa melewati gerbang untuk pembelian tiket. Mbak Elka, sang tour guide menjelaskan tentang kawah ini.
Di dalam perut bumi ada dapur magma yang menjadikan letupan kawah kecil. Kawahnya bisa berpindah-pindah dan ini lah yang membuat orang menamakannya Kawah Sikidang. Sesuai tekanan panas yang ada di dalam perut bumi ini yang mengakibatkan kawah bisa berpindah tempat dan tidak bisa diprediksi.
Usai mengunjungi Kawah Sikidang, berakhir pula kebersamaan saya bersama Dieng Jeep Wisata. Minibus yang sedari awal menemani kami dari Semarang, udah siap di halaman parkir.
Catatan Harga Sewa Dieng Jeep Wisata :
- Kawah candradimuka, Telaga Dringo, dQiano, Candi Arjuna, Telaga Warna, Batu Ratapan Angin, kawah Sikidang: harga sewa 750k per Jeep
- Arah barat, zona 1: Musium Kaliasa, Candi Arjuna, Telaga Warna, Batu Ratapan Angin, Kawah Sikidang, 500k per jeep
- Trip zona 2 selatan : telaga menjer, Curug Sakarim, Kawah Sikidang, Candi Arjuna, harga sewa 250k per Jeep.
- Mengunjungi Candi Arjuna, Tak Pernah Bosan!
Seperti yang udah saya tuliskan di atas, Dieng tak pernah menjadi tempat yang membosankan. Saya udah tak terhitung berapa kali berkunjung ke tempat eksotis dengan udara sejuk yang selalu bikin rindu.
Apakah ada bedanya dalam setiap kunjungan? Ada dong, apalagi kalo dengan orang yang berbeda. Pergi dengan orang yang sama saja bakal menjumpai pengalaman yang berbeda.
Oiya, saya udah tuliskan cerita pengalaman saat berkunjung ke Dieng dua tahun yang lalu.
Silahkan baca : Pesona Dieng Telah Menjerat Pengunjung Yang Datang
Untuk memasuki kawasan Candi Arjuna ini tiap pengunjung dikenakan tiket masuk sebesar Rp. 15 ribu. Tiket ini bisa digunakan untuk mengunjungi komplek Candi Arjuna dan Kawah Sikidang.
Komplek Candi Arjuna tak hanya tentang bangunan candi. Namun ketika berjalan, di sisi kanan terdapat komplek Dharmasala. Di sini juga terdapat dua sendang, yaitu Sendang Maerakaca dan Sendang Sedayu.
Komplek candi ini dinamakan Candi Arjuna yang posisinya paling dekat dengan pintu masuk. Kemudian di selatannya lagi ada candi Srikandi, candi Puntadewa, dan yang paling ujung adalah candi Sembadra. Candi-candi ini merupakan candi Hindu yang tertua di Pulau Jawa. Karena dibangun pada masa kejayaan Mataram oleh dinasti yang pertama yaitu Dinasti Sanjaya pada tahun 809 M.
Candi di Dieng ini ditemukan di dalam tanah. Namun keturunan penghuni asli yang membuat candi ini sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka pindah ke arah timur yaitu di Gedongsongo dan Bromo karena tidak ingin masuk Islam. Untuk nama candi ini diberikan oleh penduduk setempat.
Kompleks Candi Arjuna ini memiliki pemandangan yang cantik. Dari bangunan candi, pohon cemara yang seakan berbaris menjadi pengawal yang mengitari area tersebut. Juga beragam tanaman bunga yang hanya cocok ditanam di kawasan dengan udara sejuk. Bikin betah deh berlama-lama di lokasi wisata ini.
|
Dokpri |
Sedihnya adalah karena pandemi, penurunan jumah wisatawan sangat terasa. Seperti yang saya perhatikan siang hari itu, pengunjung bisa dihitung dengan jari. Semoga dengan keputusan pembukaan kembali tempat wisata yang sudah mendapat persetujuan oleh Gugus Tugas Covid-19, termasuk Candi Arjuna ini, bisa pulih kembali. Tentu pengunjung harus mengikuti prosedur protokol kesehatan yang diberlakukan.
Sebelum pintu gerbang Komplek Candi Arjuna, sudah disediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Kemudian di loket penjualan tiket, ada petugas yang mengecek suhu tubuh para pengunjung. Kemudian tetap jaga jarak juga dengan sesama pengunjung.
Pukul 11.34 rombongan kami tiba kembali di Rumah Budaya Dieng. Menu makan siang sudah menanti kami. Rasa lapar selepas memacu adrenalin merayapi lambung. Saya antusias mengambil piring dan mengisinya dengan menu menggugah selera.
Cerita jalan-jalan saya beserta rombongan Jateng on The Spot 2020 belum berakhir ya, Sob. Nantikan cerita lanjutannya tentang Posong, tempat berkabut yang memiliki view 8 gunung. Gunung apa saja yang menampakkan diri pada pengunjung yang beruntung? Ahhh saya cerita nanti aja ya, wassalamualaikum.