Dua puluh tujuh tahun lalu, aku tuangkan kegiatan persami di kawasan bumi perkemahan Karanggeneng Gunungpati Jawa Tengah dalam bentuk esai. Naskah yang kemudian aku kirim ke koran lokal Suara Merdeka. Dan, surprise sekali! Tulisanku dimuat dua minggu kemudian untuk rubrik OPINI. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu, masih culun dan tak berharap banyak. Namun senyumku terus mengembang saat pertama kali menatap deretan huruf namaku yang tercetak di atas judul naskah.
Rupanya, bukan aku saja yang bangga membaca artikel ini. Bapak dan seluruh keluarga menunjukkan kebanggaanya. Di sekolah pun, apresiasi beberapa teman terhadap tulisanku yang dimuat di koran, menambah rasa percaya diriku. Honor yang bernilai tujuh ribu rupiah-saat itu bisa untuk membeli sepasang sepatu olah raga, traktir sepupu dan adik serta masih sisa seribu dua ratus rupiah-serasa buayaaak. Tentu saja. Karena jatah uang saku ke sekolah dari ortu sebesar lima ratus rupiah.
Sejak saat itu, aku suka menulis. Menulis puisi, cerita super pendek dan terutama buku harian. Puisiku banyak bertebaran di diktat pelajaran. Teman kuliah yang pernah meminjam diktat, pasti akan menemukan beberapa tulisan puisiku. Sayang sekali aku tak pernah mengarsip karyaku ini.
Pertempuran Lima Hari di Semarang menjadi tonggak pertamaku mengikuti ajang lomba. Aku menulis pusisi yang menggambarkan perjuangan pahlawan kota ini melawan pendudukan Jepang. Meski baru pertama ikut lomba, puisiku terpilih menjadi nominator dan dibukukan. Bahkan aku mendapat undangan untuk mengapresiasi malam penghargaan para pemenangnya. Namun entah mengapa, hingga saat ini aku tak pernah menerima hadiah buku seperti yang sudah dijanjikan.
Perjalananku menulis karya tak berhenti. Beberapa kali aku turut menjadi peserta lomba menulis feature yang diadakan oleh instansi pemerintah. Meski masih berusia belasan tahun, dengan fasilitas mesin tik pinjaman, aku percaya diri mengirim naskah ke pantia lomba baik tingkat kota maupun nasional. Yang paling berkesan adalah ketika menjadi salah seorang peserta lomba menulis feature tentang lingkungan hidup. Dua tahun berturut-turut aku mengikuti lomba ini. Bukan karena menjadi pemenang di even pertama hingga penasaran dan mengulang jadi peserta lomba lagi. Tapi karena perhatian dari panitia lomba, yaitu Kementrian Lingkungan Hidup atas naskah yang aku kirimkan. Meski aku tahu Mentri Emil Salim hanya menandatangani dan tidak menulis isi surat penghargaan atas keberanianku mengirimkan naskah untuk lomba. Tapi aku sangat girang hingga membacanya berulang kali.
Tak ada satu pun naskahku yang memenangkan beberapa lomba menulis. Namun aku adalah pribadi yang selalu berpikir positif. Aku juga selalu memiliki impian yang tinggi dan tak masuk akal. Beberapa impianku sudah tentu tak terwujud. Namun, sebagian lagi Allah swt memudahkan aku menggapainya.
Sebagian kecil impianku berwujud ketika tulisanku hadir menghias majalah nasional terbitan Jakarta. MODE adalah majalah remaja yang kala itu tengah 'bersinar'. Uang sakuku sebagai mahasiswi di politeknik Undip (sekarang; POLINES) tak berlimpah. Namun karena sejak kecil terbiasa menyisihkan sedikit uang saku untuk membeli buku dan majalah untuk memenuhi hobiku, aku sesekali tetap membeli majalah ini.
Rupanya dari kesukaan membaca majalah ini, berefek positif padaku. Aku penasaran, bisakah tulisanku kembali mejeng di media? Bukankah seharusnya aku bisa lebih pintar lagi menulis karena sudah menjadi mahasiswi? Aku pun menganggap tulisanku layak kok dimuat di majalah MODE ini.
Niat itu menjadi berhasil ketika dilakukan sebuah usaha. Kalau tak dilakukan, namanya rencana. Aku tak ingin niatku hanya menjadi rencana. Dan, ketika pelajaran sedang kosong, aku pun berlari menuju ruang praktek Mengetik Elektrik. Dengan santai aku menulis sebuah artikel tentang 'mengorganisasi kegiatan pribadi'. Aku sudah lupa judul artikel itu. Yang pasti, saat itu aku menulis dalam waktu satu jam dan langsung jadi. Tak perlu waktu lama, aku segera mengirimnya via pos.
Apakah aku menanti karyaku dimuat? Tidak. Aku malah sudah lupa dan meneruskan kegiatanku. Dan, siang yang terik itu menjadi sejuk ketika pak pos mengirim sebuah majalah beserta wesel pos. Rasa surprise sekali lagi menerpaku. Aku, seorang mahasiswi yang tinggal di kota Semarang, bisa juga menyejajarkan karyaku di sebuah majalah terbitan Jakarta?! Honornya pun lumayan banyak untuk ukuran kantongku kala itu. Tujuh puluh lima ribu rupiah :) Wow, uang sebesar itu bisa untuk jalan-jalan ke Bali lho. Karena pergi wisata ke Bali untuk satu orang hanya butuh duit Rp. 35.000,-.
Berturut-turut ada tiga tulisanku yang dimuat di majalah MODE. Satu artikel lagi dan dua kuis. Setelah itu aku berhenti nulis. Mengapa? Entahlah, aku sendiri tak bisa menjawab. Kalau aku menyalahkan kesibukanku bekerja dan kemudian menikah serta mengurus keluarga, rasanya kok tidak adil.
Hingga dua puluh tahun kemudian aku menulis lagi. Alasannya bukan karena ingin mendapatkan uang dari menulis. Tapi, karena penasaran, bisakah kali ini tulisanku mejeng lagi di media? Ternyata menulis itu susaaah sekali. Semakin aku sulit menulis, semakin aku penasaran. Masa sih aku tidak bisa lagi menulis artikel. Aku membeli buku tentang menulis. Padahal karyaku yang pertama hingga yang berikutnya aku tulis dan dimuat di media bukan karena hasil belajar dari buku tentang menulis. Tapi namanya juga usaha!
Sampai suatu ketika aku latihan nulis cerpen. Haduuuh, ini malah lebih susah lagi. Aku memang suka baca cerpen. Tapi, untuk menulisnya tak pernah bisa kulakukan. Sampai aku pada satu kesimpulan, apa aku memang tak bakat menulis? Padahal yang namanya menulis itu kan karena kebisaan dan kebiasaan. Aku selalu percaya ini. Dan aku sangat terinspirasi oleh penulis Dewi Lestari. Dia yang memotivasi semangatku. Kalau ingin bisa menulis, ya harus menulis. Tulis apa saja yang ada di hati. Yang ada di pikiran hasil dari pengamatan. Tak perlu banyak berpikir untuk menulis. Yang penting, biasakan menulis setiap hati, setiap saat.
Wah, aku jadi terpacu menulis. file data di komputerku banyak berisi tulisan yang tidak pernah aku publikasikan. Semua adalah ajang belajar dan berlatih. Kalau ingin bisa naik sepeda motor, yang berlatihlah naik sepeda motor. Kalau ingin bisa menulis lancar, ya harus sering-sering menulis. Kelak, kapanpun tulisanku siap untuk dipublikasikan, pasti akan terwujud. Itu kata-kata motivasi bagi diriku.
Dan bertahun kemudian saat yang aku impikan mulai terwujud. Satu persatu naskah yang mulai aku kirim ke media, telah dimuat. Aku belum mengirim banyak naskah. Namun aku percaya, setiap aku mengirim naskah, aku selalu berharap tulisanku akan dimuat. Sikap percaya diri yang selalu menemaniku menjaga semangatku agar selalu tumbuh.
Jadi, 'Janganlah Berhenti Berharap'. Karena harapan akan selalu memudahkan langkah kita mencapai setiap impian yang sudah kita rintis.