My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi: Satu Indonesia
Tampilkan postingan dengan label Satu Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Satu Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 November 2024

Plepah Mengubah Limbah Jadi Berkah
November 02, 2024 16 Comments
Assalamualaikum Sahabat. Aktivitas harian yang padat telah mengubah masyarakat Indonesia menyukai hal yang instan. Keluarga muda banyak yang mengubah kebiasaan menyajikan hidangan dari dapur rumah dengan memilih membeli makanan dari luar. Perilaku ini rupanya tidak hanya terjadi di kota besar, saya melihat beberapa kota kecil di Indonesia pun memiliki kecenderungan serupa.

Perubahan perilaku ini menjadi penyumbang sampah kemasan terbesar di Indonesia. Setiap hari masyarakat berkontribusi  hingga 20 juta kemasan makanan bekas yang butuh waktu ratusan tahun untuk terurai. 

Kalo merujuk data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota Indonesia, pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 0,27 ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut. Dan kalian tentunya sudah membaca kabarnya saat itu di portal berita bahwa sampah tersebut didominasi stirofoam. Yang paling menyedihkan adalah sampah stirofoam membutuhkan waktu sekitar 500 tahun sampai 1 juta tahun untuk dapat terurai oleh tanah.

Masalah sampah ini mengusik hati seorang anak muda, yaitu Rengkuh Banyu Mahandaru, Sarjana Desain Produk di Institut Teknologi Bandung. Dia terinspirasi ide mengolah produk hasil hutan non kayu menjadi wadah makanan. 

Dokumentasi : Eva Martha Rahayu

Idenya muncul saat dia berkesempatan keliling ke beberapa negara sebagai product designer tempatnya bekerja. Salah satu negara tersebut adalah India, yang memiliki kearifan lokal menggunakan dedaunan sebagai pembungkus makanan. 

Cerita Awal Mula Plepah Hadir 

Kearifan lokal warga India yang masih menggunakan daun-daunan sebagai perlengkapan makanan menarik perhatian Rengkuh. Dia melihat warga di sana masih menggunakan daun untuk membungkus atau sebagai wadah makanan. Hal ini pernah dilakukan masyarakat Indonesia dulu. Sekarang sayangnya sudah sangat sulit dijumpai warga yang menggunakan daun sebagai pembungkus makanan.

Rengkuh yang merasa gelisah dengan kondisi tersebut, ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat secara luas. Dia akhirnya mendirikan Plepah bersama dua temannya, startup yang melakukan proyek riset dengan membuat bahan-bahan turunan dari agrikultur untuk kemasan makanan alternatif. 

Seperti diketahui Indonesia memiliki potensi kekayaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat besar untuk dikembangkan.  HHBK adalah hasil hutan hayati nabati ataupun hewani beserta produk turunannya, kecuali kayu yang berasal dari hutan. Nah, salah satu HHBk adalah tanaman Pinang.

Pinang memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Selain buah dan biji, limbah daun pelepah pinang juga memiliki nilai ekonomis. Artinya memiliki nilai manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Dalam proses membangun Plepah, Rengkuh rela meninggalkan pekerjaannya sebagai product designer salah satu studio desain. Rengkuh ingin keluar dari zona nyaman dan merasa bisa berkontribusi dengan keahliannya. Tahun 2018 Plepah mengajak kerjasama dengan multi pihak yaitu NGO yang fokus untu konservasi hutan.

Pada tahun yang sama pula, tengah marak kebakaran hutan. Rengkuh berinisiatif menjalin komunikasi intensif dengan para petani karet dan sawit. Dia memberikan edukasi agar mereka tidak iseng mengekstraksi hutan dengan membakar atau pun menebang pohon sembarangan. 

Sejak awal fokus Plepah di Sumatera khususnya Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah mengembangkan dan memproduksi produk kemasan ramah lingkungan seperti piring, mangkok dan kontainer makanan.

Dokumentasi Plepah


Rengkuh menciptakan waktu yang lebih produktif dengan konsep berbasis komunitas serta memberdayakan desa dan masyarakat di Sumatera Selatan dan Jambi. Masyarakat diajak mengolah limbah agrikultur komoditas pohon pinang sebagai pendapatan ekonomi alternatif. Yaitu menggunakan limbah pelepah pinang untuk diubah menjadi produk akhir eco friendly food packaging dan foodware.

Untuk pengoperasian limbah tersebut Plepah menggunakan skema micro manufacturing. Skema tersebut dipilih agar teknologinya bisa diadaptasi oleh masyarakat di pedesaan, terutama di area-area terpencil. Hal ini dilakukan mengingat tempat pengolahan awal berada di tengah-tengah perkebunan karet dan kelapa sawit.

Proses produksi juga dengan menggunakan sumber listrik dari solar panel, turbin air, atau daya yang lebih hemat. Mesin produksi juga didesain yang praktis dengan maksud memudahkan distribusi dan tidak memerlukan banyak ruang.

Tantangan Yang Harus Dihadapi Plepah

Bagi Plepah hal yang sulit saat mengembangkan produk ramah lingkungan tidak hanya pada riset. Meski memang tidak dipungkiri riset ini menjadi masalah utama yaitu pendanaannya yang sulit. Terlebih dahulu juga Plepah belum banyak dikenal, beda dengan sekarang yang mulai dimudahkan dengan akses pendanaan. Namun masih tetap bukan hal mudah juga.

Selanjutnya, tantangan mengenai edukasi terhadap stakeholder petani. Komoditas yang dianggap oleh petani berupa sawit, karet, pisang, atau apapun itu yang memang sudah menghasilkan nilai ekonomi. Sementara apa yang ditawarkan Plepah adalah sesuatu yang baru, ekosistem ekonominya belum terbangun. Pelaku-pelaku yang seharusnya hadir di setiap bagian belum ada. Waktu itu memang masih belum banyak mendapat tanggapan atau respon yang baik. 

“Itu juga jadi tantangan tersendiri untuk kami bisa membangun rantai pasok. Jauh sebelum rantai pasok terbangun, kami juga kesulitan meyakinkan bahwa ini punya value ekonomi, di sisi lain juga menjadi sebuah solusi terhadap masalah kemasan tidak ramah lingkungan yang begitu mengganggunya di kota besar,” katanya.

Potensi Pinang di Daerah Papua Dan NTT

Riset ini juga memetakan potensi pinang di Papua dan NTT. Pelepah pinang hampir tidak memiliki nilai dan dianggap sebagai limbah pertanian karena itu pada umumnya dibuang atau dibakar, terutama selama musim hujan karena dapat menjadi sarang nyamuk.

Dokumentasi dari mongabay.co.id

Pendiri Plepah, Rengkuh Banyu melihat potensi yang sangat besar untuk mengalihfungsikan limbah pohon pinang ini secara berkelanjutan.

Rengkuh bersama dua kawannya Almira Zulfikar dan Fadhan Makarim, yang juga lulusan Institute Teknologi Bandung, mengembangkan dan memproduksi mesin tepat guna untuk mengoptimalkan produksi piring dan kontainer makanan dari pelepah Pinang.

Rengkuh menyebutkan bahwa rata-rata petani memiliki lahan 2-3 hektar kebun Pinang. Dari luas kebun itu bisa menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya perhari. Kemudian pelepah ini dikumpulkan dan disetorkan ke pabrik. Teknik pemrosesan dibikin menjadi wadah makanan berupa alat cetak pemanas. 

dokumentasi bisnis.tempo.co


“Pertama disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. 1 lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 buah,” 

Produksi awal mereka sebesar 500 buah per bulan sambil terus melakukan riset dan pengembangan produksi. Kini memasuki 2024 omset Plepah sudah miliaran rupiah dengan kapasitas produksi mencapai 20.000-30.000 buah per bulan.

Plepah saat ini sedang membenahi alur pengumpulan bahan limbah dari masyarakat sekitar perkebunan. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktek monopoli harga yang bisa merugikan tidak hanya Plepah tetapi juga petani.

Pemasaran Produk Ramah Lingkungan Plepah

Plepah mampu membuat produk ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pelepah Pinang. Mereka juga berhasil mengajak masyarakat sekitar perkebunan pinang untuk mengumpulkan pelepah dan menjadi tambahan penghasilan bagi mereka. Langkah berikutnya tentu saja pemasaran produk ramah lingkungan yang diharapkan mendapat pasar yang luas.

Sebagai informasi, kemasan atau wadah makanan ramah lingkungan terbuat dari pelepah Pinang ini dijual seharga Rp 2.000-4.000 per buah berupa piring, mangkok dan kontainer makanan, semuanya dengan tutupnya.

Pemrosean pencetakan pelepah Pinang menjadi wadah makanan setelah proses sterilisasi dengan sinar UV, di pabrik Plepah, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. 

Pemasaran yang sudah dilakukan terbagi lokal dan ekspor. Di Indonesia sudah terbentuk kalangan yang mengutamakan produk ramah lingkungan, seperti di hotel dan restoran di beberapa kota besar. 

Untuk pemasaran keluar negeri, sudah dilakukan pengiriman satu kontainer yang memuat 240 ribu buah produk Plepah ke negara Jepang. Proses negosiasi dengan Jepang lebih mudah karena syarat white label dan terbiasa menerima produk anyaman dan rotan. Mereka secara terbuka bisa dengan mudah menerima aneka wadah dari pelepah Pinang.

Pada April 2023 Plepah mewakili Indonesia dalam pameran teknologi industri tingkat dunia Hannover Messe 2023 di Jerman. Plepah hadir sebagai perwakilan startup yang mempresentasikan inovasi maupun potensi investasi di sektor ramah lingkungan.

Rengkuh menuturkan antusiasme masyarakat di sana sangat tinggi pada produk sustainability. Dari pameran tersebut Plepah banyak mendapatkan permintaan dan ajakan bermitra bersama distributor dari Jerman dan beberapa negara di Eropa. Bahkan potensi kerjasama pun hadir dari Kanada dan beberapa negara Amerika Selatan.

Kerjasama dalam berbagai bentuk, seperti investasi serta kerjasama usaha. Yaitu permintaan produk untuk diekspor ke berbagai negara seperti Kanada, Jerman, Swedia, dan Belanda. Jumlah permintaan rata-rata satu kontainer sekitar 200.000 produk.

Ekspor ditargetkan terwujud tahun ini. Rengkuh berharap dari harga produk di pasar internasional yang sudah bisa kompetitif, bisa mensubsidi produk yang dipasarkan di dalam negeri.

Produk Plepah Berfokus Pengolahan Limbah

Awal tahun 2024, Plepah mulai fokus mengembangkan pelet yang terbuat dari limbah tanaman lainnya. Seperti tanaman tebu, bonggol jagung, dan lainnya yang diolah sebagai bahan bakar alternatif di PLTU. Hal ini diniatkan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar batubara. Jadi dengan produk dari Plepah nantinya PLTU diharapkan sedekit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap batubara. 

Plepah juga bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biomaterial LIPI di Cibinong, Jawa Barat. Kerja sama ini bertujuan mengembangkan bahan-bahan alami produk perkebunan sebagai alternatif kemasan sekalai pakai. Bahan-bahan yaang diteliti seperti batang pohon pisang, sorgum, tongkol jagung, serat kelapa, dan bambu. 

Sebuah perjalanan panjang dari tiga anak muda yang memiliki kepedulian pada lingkungan. Dan Rengkuh Banyu Mahandaru telah terpilih sebagai salah seorang Penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards dari DKI Jakarta. Perjuangannya mengangkat limbah pelepah Pinang menjadi produk yang bermanfaat secara ekonomis dan lingkungan. 

Apresiasi Satu Indonesia Awards merupakan program pemberian apresiasi oleh PT. Astra International Tbk untuk generasi muda Indonesia yang berprestasi dan mempunyai kontribusi positif untuk masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ada lima bidang yang bisa diajukan sebagai penerima award, di antaranya Kesehatan, pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi. Semoga kalian yang membaca artikel ini memiliki kesempatan menjadi penerima award berikutnya. Wassalamualaikum.


Sumber Materi :
~ https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
~ https://swa.co.id/read/406666/cerita-rengkuh-bangun-startup-plepah-berawal-dari-keresahan
~ https://www.greeners.co/ide-inovasi/plepah/
~ https://teknologi.bisnis.com/read/20231106/266/1711430/asa-dari-seikat-pelepah-untuk-masa-depan-bebas-sampah

Reading Time:

Senin, 25 September 2023

Hayu Dyah Patria Mengangkat Tanaman Liar  Menjadi Bernilai Ekonomi
September 25, 2023 12 Comments
Assalamualaikum. Saya lahir dan besar menghirup udara di perkotaan yang sarat polusi. Namun saya masih beruntung tinggal di tempat yang jauh dari pabrik. Jadi bangun tidur dan melihat keluar jendela pun saya masih melihat langit yang biru. Namun untuk mendapatkan sayuran segar harus tetap keluar rumah dan belanja di warung atau pasar.

Tanaman liar sumber pangan
Tanaman krokot tumbuh liar bahkan di jalanan kota besar

Itu lah sebabnya sejak usia sekolah dasar, saya selalu senang manakala tetangga yang asli orang Delanggu menawarkan ikut mudik. Teman sepermainan yang bercerita turut andil menggoda saya ingin merasakan hidup di desa. 

Dan benar saja, sejak kecil pun saya terpesona dengan keheningan desa, udara yang bersih, air jernih mengalir di sungai yang ada di batas desa, dan tanaman tumbuh subur. Beberapa kali hingga usia sekolah menengah atas, saya masih ikut mudik bersama tetangga. Tentu saja orang tua mengijinkan karena kami memang kenal baik dan bertetangga juga udah lama. Dan mereka mudik biasanya ketika bulan ruwah yang artinya saatnya pulang kampung untuk bersih-bersih kubur.

Pesona Desa Dan Hutan di Indonesia

Saya masih ingat waktu masih menjadi pelajar SMA dan ikut camping di dusun Promasan yang terletak di lereng Gunung Ungaran. Oleh warga setempat, kami diajak mencari slada air di sungai yang airnya jernih. Saat itu saya teramat senang bisa ikut memetik tanaman yang katanya tumbuh liar. 

Kecintaan pada alam menuntun saya menjadi salah seorang anggota WALHI di kampus Polines. Salah satu programnya adalah mendaki gunung dan turun membawa sampah. Sepanjang pendakian ketertarikan saya tumbuh dengan melihat banyaknya tanaman hutan yang bisa menjadi sumber pangan, seperti daun cantigi, batang begonia, dan murbei. Saya sebagai anak kota terlalu takjub menemukan tanaman yang tumbuh liar di sepanjang jalur pendakian ini bisa dinikmati untuk cemilan ringan. 

Kecintaan saya pada desa dengan kekayaan alam yang masih asri menuntun pada sosok Hayu Dyah Patria. Saat saya menyusuri dunia maya untuk mencari desa yang memiliki hutan ataupun terletak dekat gunung, nama MENDIRA muncul. Bersamaan nama Mendira, muncul nama seorang perempuan pemerhati lingkungan yang juga peneliti tanaman pangan liar. Dia adalah Hayu Dyah Patria.


Perempuan Penerima Award Satu Indonesia

Dusun Mendira sejak lama sudah disematkan sebagai salah satu dusun paling miskin di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dusun Mendira terletak di atas bukit dengan jalanan yang rusak, serta rumah-rumah yang masih berwujud kayu. Warga dusun tidak memiliki pekerjaan tetap kecuali merawat tanaman di kebun.

Banyak warga luar dusun tersebut mencibir dengan kemiskinan Dusun Mendira. Bahkan beberapa anak dusun sangat sedih karena penyematan oleh warga luar tentang anak gunung, dusun miskin, dan lainnya. Alasannya karena mereka sering mengambil tanaman hutan untuk dijadikan masakan. Selain itu beberapa kali hewan liar memasuki kawasan pemukiman warga. 

Hayu Dyah mendengar pertama kali sebutan dusun miskin ini tergugah. Rasa penasaran yang membawanya ke Dusun Mendira karena ajakan oleh seorang teman. 

Saat tiba di dusun tersebut, Hayu Dyah justru terkejut dengan kekayaan alam yang ada di depan matanya. Dusun Mendira sebuah surga di bumi dengan sumber air segar yang mengalir dari gunung. Sumber air yang akan terus mengalir sepanjang warga yang tinggal di kaki gunung menjaga hutannya. Tanah dusun tersebut juga terjaga karena terlihat gembur hingga tanaman liar tumbuh sendiri di kebun warga. Aneka kekayaan hayati di dusun itu hanya menanti tangan-tangan warga untuk dimanfaatkan secara optimal.

Menurutnya Dusun Mendira itu tidak miskin. Kecuali kalo standar penilaian miskin adalah rumah yang tidak beralas semen atau keramik. Hayu Dyah melihat kemiskinan dengan esensi yang berbeda. Warga yang kelaparan karena tidak bisa menemukan sumber pangan bisa dianggap miskin. 

“Saya justru tidak melihat kemiskinan sama sekali. Jika kemudian definisi miskin adalah berarti rumah tidak beralas semen atau keramik, menurut saya itu bukan esensinya. Ini adalah daerah yang sangat kaya,” katanya.

Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022.

Angka kekurangan gizi ini merujuk pada kasus stunting di Indonesia. Kasus kekurangan gizi sebenarnya bukan hanya dihadapi balita, namun juga orang tuanya. Ketika orang tua tidak mengenal sumber pangan yang tak terbatas di lingkungannya, maka angka di atas akan terus naik.

Selama ini orang menganggap sumber pangan hanya yang ada di warung, pasar tradisional dan tempat penjualan lain yang butuh uang untuk berbelanja. Kasus kemiskinan yang terjadi tidak berada di kota besar, kota kecil bahkan di pedesaan. Desa tempat sumber pangan seharusnya berlimpah dan tinggal dibudidayakan oleh warganya. Termasuk tanaman liar yang tumbuh tanpa harus ada perawatan, bisa dijadikan sumber pangan. Tanaman liar bisa didapatkan dengan mudah tanpa mengeluarkan uang.

Bahkan kandungan gizi tanaman liar tak kalah dari tanaman budidaya. Bagi warga kota bisa memetik krokot yang tumbuh di sela batu di jalanan. Saya melihat sendiri gimana krokot tumbuh subur di sela paving dekat tempat tinggal. Tanaman krokot memiliki nilai gizi yaitu mengandung asam lemak omega-3 atau setara dengan ikan laut. Asam lemak omega-3 ini penting karena tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia. 

Tanaman krokot juga mengandung vitamin A, vitamin C, Magnesium, Mangan, Kalium, Kalsium, dan vitamin B1, B2, B3, folat, tembaga, dan fosfor. Cukup banyak juga nilai gizi dalam tanaman krokot yang tumbuh liar ini ya.

Kepedulian Hayu Dyah Patria Mengangkat Tanaman Liar Sebagai Sumber Pangan

Ketertarikan perempuan kelahiran Gresik, 27 Januari 1981, pada tanaman liar berawal saat kuliah di Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Saat menjadi mahasiswi, dia melakukan penelitian tentang kandungan gizi mangrove. Kemudian usai lulus kuliah, dia melanjutkan ketertarikannya untuk meneliti tanaman liar. Kegiatan ini dilakukannya pada tahun 2004 di daerah Malang.

Setelah penelitian tersebut, mulai lah Hayu mengajak masyarakat memanfaatkan tanaman liar. Hingga dia pun mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Mantasa pada tahun 2009. Mantasa adalah lembaga pemberdayaan masyarakat yang fokus pada pemanfaatan tanaman liar untuk bahan pangan. 

Hayu bersama tim Mantasa mulai mengidentifikasi berbagai jenis tumbuhan pangan liar beserta pengetahuan tradisional di baliknya, dan saat ini setidaknya telah mendokumentasikan 400 jenis tumbuhan pangan liar. Dia pun melakukan berbagai kegiatan untuk mempromosikan kembali pemanfaatan tumbuhan pangan liar untuk mencapai kedaulatan pangan dan gizi, terutama di tingkat lokal. 

Hayu percaya bahwa solusi lokal adalah solusi yang terbaik dalam menangani masalah kelaparan di Indonesia. Dan menurutnya, perempuan adalah aktor penting namun tidak diakui perannya dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan gizi. Karena itu dalam setiap kegiatannya dia lebih banyak bekerja dengan perempuan dan menikmati menimba ilmu, pengetahuan dan ketrampilan dari mereka.

Desa Galengdowo Kabupaten Jombang, Jawa Timur terpilih menjadi tempat pembudidayaan tanaman liara. Desa Galengdowo terpilih karena merupakan desa miskin namun memiliki sumber daya alam hayati yang melimpah.

Hayu Dyah menggandeng ibu-ibu rumah tangga di Desa Galengdowo untuk memanfaatkan tanaman liar menjadi bernilai ekonomi. Tanaman liar tersebut akan disulap menjadi beragam makanan, seperti kue, selai, dan aneka minuman kesehatan. Di sini peran Hayu fokus melakukan pendampingan yang dimulai dari pemilihan tanaman, pengolahan, pengemasan, dan pemasaran.



Kini, makanan berbahan tanaman liar dari Desa Galengdowo sudah berhasil dipasarkan ke berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Harga jualnya bervariasi mulai dari Rp 2.000 sampai dengan Rp 25.000 per buah.

Upaya Hayu Dyah dan Dapur Komunitas Meningkatkan Kualitas Hidup Warga Dusun Mendira

Kegiatan yang dilakukan Hayu Dyah tidak terhenti hanya di Desa Galengdowo. Seperti yang saya tuliskan di awal, Hayu Dyah mulai melirik Dusun Mendira yang terletak di desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lokasi desa ini berjarak 2.5 jam dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi atau menggunakan transportasi publik (bis) dan ojek.

Hayu Dyah mengumpulkan ibu-ibu dan meminta mereka menyebutkan tanaman yang selama ini dikonsumsi. Beberapa ibu menjawab tanaman yang mereka ambil dari hutan yaitu sintrong, pegagan, bayam banci, suwek, dan gadung dan masih banyak lagi. Ibu-ibu ini tanpa sadar mengutarakan isi kepalanya dengan perbendaharaan tentang sumber pangan lokal. Dalam waktu satu jam mereka menyebutkan sekitar 100 tanaman hingga Hayu Dyah pun menuliskannya dan menempelkan di dinding.

Ramban tanaman liar untuk sumber pangan


Dari sini lah Hayu Dyah mengajak ibu-ibu ramban (memetik/memanen) sayuran. Mereka menikmati kegiatan tersebut sambil diselingi cerita keseharian termasuk dengan keluarga. Sesekali terbit gelak tawa saat mendengar cerita tetangganya. Hayu Dyah merasa senang dengan kegiatan tersebut karena tingkah ibu-ibu ini menjadi sumber inspirasinya juga. Kekonyolan mereka yang saling meledek tetangga, menjadi silaturahmi yang mengeratkan hubungan sesama warga. 

Dusun Mendira adalah dusun terakhir di desa Panglungan sebelum memasuki wilayah pegunungan Anjasmara. Hayu mengajak 8 ibu-ibu di Dusun Mendira membentuk Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA). Mereka mulai menanam 40 jenis tanaman liar di kebun seluas 3.000 meter persegi secara bertahap. Hasil kebun ini sebagian dibagi untuk kebutuhan dapur mereka sendiri. Sedangkan sisanya dijual di pasar organik setiap bulan sekali di Surabaya.

Mereka bahkan tidak peduli ketika orang sesama warga dusun memandang remeh kegiatan tersebut. Menurut warga dusun, tanaman liar yang hanya dibuang tidak memiliki nilai ekonomis. Warga dusun lain itu tidak mengetahui bahwa tanaman yang dianggap sepele tersebut memiliki nutrisi yang tidak kalah dengan kangkung, tomat, wortel, dan sayuran lain yang dijual di pasar.

Langkah Hayu Dyah mulai dilirik oleh pihak lain yang memiliki kepedulian sama dengan pelestarian alam dan kemandirian pangan. Kegiatan yang dibuka dan mengundang masyarakat luas yaitu Program Residensi Dapur Komunitas Mendira. Kegiatan berlangsung awal Januari 2016 yaitu melestarikan pangan lokal dengan cara memproduksi, mengonsumsi, dan memodifikasi. 

Masyarakat umum diajak menjadi warga namun tidak harus menetap di Dusun Mendira. Hanya komitmen masyarakat yang diharapkan bisa mewujudkan konsep awal dapur ekologis. Peserta yang terpilih akan mendapat dana selama proses residensi berlangsung. Beberapa praktisi ahli akan mendampingi peserta, yaitu :

- Yu Sing, Studio Akanoma, Bandung
- Tukidul Yunondro, Komunitas Teknologi Tepat Guna (TeTeg), Yogyakarta
- Hayu Dyah, Mantasa, Surabaya
- Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA), Jombang

Dapur Komunitas ini lokasinya di sebelah kebun agroekologi. Tempat eksperimen dan pengolahan beragam varietas tanaman lokal yang tumbuh di Dusun Mendira.

Kegiatan yang didukung oleh beberapa komunitas ini menganggap cara paling efektif melestarikan pangan lokal adalah dengan memproduksi, mengonsumsi dan memodifikasi. Hasil dari dapur komunitas ini adalah produk-produk pangan lokal Dusun Mendira yang nanti akan dijual dan didistribusikan di daerah perkotaan.

Dapur Komunitas juga akan dijadikan percontohan sebuah dapur ekologis yang ramah lingkungan. Mereka berharap Dusun Mendira bisa menjadi tempat wisata edukasi agroekologi di kemudian hari.

Beberapa konsep dapur ekologis yang ingin dicapai adalah:

- Penggunaan materi-materi yang tersedia di lingkungan untuk pembangunan dapur ekologis.
- Estetika dan desain yang memperhatikan lingkungan.
- Pemanfaatan limbah dapur untuk kompos yang akan digunakan untuk kebun agroekologi.
- Penggunaan biogas sebagai sumber energi dapur.

Tujuan akhir kegiatan ini adalah menciptakan percontohan dapur ekologis ramah lingkungan yang berlokasi di kebun agroekologis di Dusun Mendira.

Kelompok Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA) ingin meningkatkan kualitas hidup di dusun mereka dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional dan keragaman hayati. Tahun lalu, kelompok ini memberanikan diri untuk menyewa lahan desa yang dipergunakan sebagai lahan percobaan dan pembudidayaan berbagai tanaman pangan liar. 

Ibu-Ibu KPSKA

Mereka ingin agar warga dusun dan anak-anak yang menjadi generasi penerus akan tetap mengonsumi tanaman yang sudah dibudidayakan tersebut. Tanaman yang sejatinya sudah dikonsumsi selama ratusan tahun namun mulai dilupakan. KPSKA juga mengajak anak-anak untuk ikut mengenal nilai gizi makanan yang disajikan di dapur keluarga. Agar anak-anak kelak ketika tumbuh dewasa, akan tetap melestarikan tanaman liar dan menjadi sumber pangan warga.

Ketahanan pangan dimulai dari ibu-ibu, karena mereka yang memikirkan menu masakan, memasaknya, dan menyajikannya untuk keluarga. Dan Hayu Dyah Patria menjadi sumber inspirasi ibu-ibu di berbagai daerah di Indonesia. Wassalamualaikum.


Sumber Materi dan foto :

- https://ayosehat.kemkes.go.id/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-216-dari-244
- https://womensearthalliance.org/hayu-dyah-patria/
-https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160516_trensosial_getinspired_hayu_diah
- https://ayorek.org/events/undangan-terbuka-program-residensi-dapur-komunitas-mendira/
-https://sohib.indonesiabaik.id/article/pulih-bersama-wanita-lembah-anjasmara-7XFDo
Reading Time:

Sabtu, 26 Oktober 2019

Menyibak Eksotisme Desa Menari di Lereng Telomoyo
Oktober 26, 2019 27 Comments

Menyibak Eksotisme Desa Menari di Lereng Telomoyo


Assalamualaikum Sahabat. Musik rancak yang menggetarkan suasana siang nan terik itu mampu mengajak pengunjung Desa Menari mendekat ke panggung. Jangan kaget dulu dan menghubungkan Desa Menari yang awal Oktober saya kunjungi, dengan desa yang hits di sosial media itu.

Desa Menari yang saya kunjungi kemarin letaknya di lereng Telomoyo.  Tepatnya di Dusun Tanon, Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokasinya sekitar 60 km dari Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah.

Saya pernah datang ke Dusun Tanon ini bersama keluarga. Namun karena bukan kunjungan rombongan dan tidak memberitahu sebelumnya pada warga setempat, tentu saja tak ada kegiatan menari di dusun ni.

Festival Lereng Telomoyo

Suatu hari ketika ada ajakan untuk berkunjung ke Dusun Tanon, saya segera menyambutnya dengan semangat. Kapan lagi saya punya kesempatan menyaksikan sebuah dusun dengan penghuninya yang memiliki kecintaan pada kesenian lokal.

Sabtu tanggal 12 Oktober 2019, rombongan blogger dan fotografer terbagi dalam dua bus ukuran medium. Kami beriringan menuju Dusun Tanon yang terletak di lereng Gunung Telomoyo.

Saya menikmati sepanjang perjalanan yang menuju arah wisata Kopeng. Namun sebelum tiba di kawasan wisata tersebut, kami belok ke kanan setelah melintasi Pasar Getasan.

Dari sini perjalanan mulai berkelok-kelok dan naik turun lereng Telomoyo. Pemandangan hamparan kebun milik warga, sawah, dan rumah bergantian menemani perjalanan kami.

Jalan desa yang dibuat dengan pengecoran menjadikan perjalanan berjalan lancar. Kalo bus ukuran medium saja bisa mengakses jalan desa, apalagi kalo kamu kesana dengan membawa mobil jenis station.

Begitu memasuki gapuran desa, terdengar musik yang menunjukkan adanya keramaian. Di sisi kanan jalan terdapat rumah yang menjadi tempat Bhakti Sosial dari Ikatan Apoteker Indonesa (IAI) dan PC IAI Kabupaten Semarang, Korwil F.



Kegiatan berupa cek kesehatan, pelayanan fisioterapi, dan kampanye Dagusibu ini sepertinya diperuntukkan bagi lansia. Terlihat dari spanduk yang dibentangkan dengan tagline "Menuju Lansia Sehat dan Bahagia".

Suara alunan gending Karawitan menuntun langkah saya dan teman-teman menuju panggung terbuka yang berhiaskan daun kelapa. Di panggung tengah berdiri beberapa pejabat publik setempat yang memberikan kata sambutan.

Setelah rangkaian sambutan dan pemukulan gong, secara resmi menjadi pembukaan  Festival Lereng Telomoyo 2019. 

Mendadak suara gamelan yang rancak membahana, mengantarkan beberapa bocah berpakaian warna merah dan hitam. Riasan wajah yang terkesan garang tak mampu melenyapkan gaya kejenakaan para bocah penari ini. Karena riasan wajah mereka memang hanya garang di beberapa sisi, seperti di bagian mata. 

Mereka sedang mengikuti irama musik dengan menarikan Geculan Bocah. Tari Geculan Bocah ini merupakan adaptasi dari Tari Warok. Udah tahu kan Tari Warok? Biasanya penarinya adalah orang dewasa dan terkenal di kawasan Jawa Timur.



Pakem gerakan Tari Geculan Bocah ini memang mengambil dari Tari Warok. Namun dalam tarian ini, lebih didekatkan dengan dunia anak-anak yang jenaka, ceria, penuh tawa, dan seru. Tarian ini mempertontonkan permainan tradisional anak-anak berupa perang-perangan, guyonan anak, dan keseharian mereka.

Setelah tarian usai, para penari diajak foto bersama perwakilan Astra, pejabat yang mewakili Gubernur Jawa Tengah, serta Kang Trisno.

Usai Tari Geculan Bocah, pengunjung diajak bergeser ke teras milik warga. Di halaman rumah yang saling berhadapan, salah satunya adalah rumah milik Kang Trisno, terdapat panggung kecil.

Di sini beberapa ibu memperagakan kegiatan tradisional Lesung Jumengglung. Pengunjung bisa juga ikut dalam keseruan memainkan lesung ini. 

Tidak hanya itu, ada juga beberapa warga yang mengajak pengunjung untuk memainkan egrang. Beberapa pengunjung yang berani naik egrang bahkan diajak berlomba. Namun baik yang kalah maupun pemenangnya, semua mendapatkan hadiah dari Astra.



Sementara di atas panggung kecil, terdapat beberapa anak putri menyanyikan dan memainkan dolanan Cublak Cublak suweng. Suasana makin meriah karena kami meminta anak-anak ini mengulang lagi dolanannya.

Di depan rumah Trisno ada beberapa anak yang dolanan Suda Mada, di beberapa daerah ada yang menyebut engklek. 

Sementara sebagian besar warga ibu-ibu, sudah menyajikan makanan dan minuman hangat. Kami dipersilahkan untuk menikmati menu ndeso yang menjadi makan siang seluruh pengunjung.

Sajian makanannya adalah nasi jagung, nasi putih, serta lauk berupa sambel goreng krecek, urab sayur, tempe, dan rempeyek. Rasanya nikmat banget makan dengan beberapa teman di ruang tamu rumah warga.

Ada juga pasar rakyat, tempat kita bisa berbelanja hasil bumi warga Dusun Tanon. Saya sendiri membeli mangga, jagung rebus, dan sayuran. Duhhh harga murah semua bikin saya jadi kalap.

Di depan pasar rakyat pula disajikan atraksi pantomim oleh Mas Tata. Ternyata beliau tinggalnya di Solo dan diminta datang untuk memeriahkan event keren Festival Lereng Telomoyo.


Yang menarik dari pantomim Mas Tata adalah, beliau memberi pertunjukan yang berbeda. Dimulai dengan merias wajahnya sendiri yang tentu durasi atraksinya jadi panjang. Baru setelah Mas Tata selesai merias wajahnya, atraksi utama dilakukannya. Seru sih karena semua pengunjung yang hadir begitu terpesona dengan polah tingkah Mas Tata. Apalagi Mas Tata juga berinteraksi dengan penonton di sana. Dari ngajakin foto selfie, hingga ngajak main-main. Lucu banget deh.

Dusun Tanon Menjadi Kampung Berseri Astra

Ibu Wiwik Setyowati, Manager Environment and Social Responsibility Division PT. Astra International Tbk menuturkan dalam kata sambutannya. Selama ini Astra melakukan pemilihan desa yang layak untuk dijadikan KBA dengan cara Social Mapping atau pemetaan sosial.

Pemetaan sosial ini merupakan proses penggambaran masyarakat dengan cara sistematik mengumpulkan data dan info tengtang kegiatan warga. Kegiatan ini merupakan CSR dari AStra yang menginginkan kontribusinya untuk mengajak warga ikut aktif membangun desanya.

Menurut Ibu Wiwik, KBA bagi Astra itu memiliki ciri khas yang berbeda dan unik. Astra masih terus mencari dan mengembangkan desa-desa dengan ciri unik tersebut. Tentunya kegiatan ini membutuhkan kerja sama dnegan pemerintah pusat. Yaitu dengan melalui Kemendes yang memiliki data terperinci tentang desa-desa dengan ciri khas yang berbeda ini.

Desa yang terpilih akan dibimbing terutama dalam hal sumber daya manusia, karakter desa, dan  kegiatan warga secara sosial di lingkungan masing-masing.

Pada 9 November 2016, Desa Wisata Tanon mulai dibina menjadi Kampung Berseri Astra (KBA). Desa Menari dipilih sebagai KBA karena memiliki aspek-aspek yang sejalan dengan 4 pilar corporate social responsibility (CSR) Astra, yakni Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Kewirausahaan. Karena mencakup empat aspek pilar CSR Astra inilah Desa Tanon akhirnya dipilih untuk dibina menjadi KBA pertama di Jawa Tengah.

Yang menonjol dari desa menari adalan sosok pemuda dari DusunTanon, memutuskan untuk pulang ke desanya. Pemuda ini atau lebih dikenal sebagai Trisno, telah menyelesaikan kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Trisno adalah pemuda pertama di Dusun Tanon yang berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana.

Namun setelah lulus menjadi sarjana, dia kembali ke dusunya karena ingin mengubah kehidupan warganya.

Untuk bidang pendidikan dan melalui program Beasiswa Astra Lestari, terdapat 36 anak Dusun Tanon mendapatkan beasiswa. Mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sebuah prestasi dari anak desa yang terinspirasi dari Trisno.


Awalnya Trisno fokus pada program-program pendidikan non formal. Dia mengundang mahaswa dari perguruan tinggi, dan mengajak mereka berdiskusi dengan warga. Ide mereka juga disandingkan dengan kegiatan warga yang sehari-harinya adalah petani dan peternak. Warga desa pun mendapatkan saran bagimana mengelola pertaniannya dan peternakan.


Cinta Trisno dan Desa Menari

Dari bincang-bincang dengan pengunjung, terungkap bahwa semua kegiatan di desa menari adalah dari duit 200 ribu rupiah. Bingung ya?

Trisno yang lahir pada tahun 1981 ini bermimpi tentang desa yang memiliki usaha yang mampu menyejahterakan warganya. Mimpi yang berawal dari duit 200 ribu untuk membangun lincak di tengah halaman warga. 

Tentu saja impiannya ini tidak mendapat kepercayaan dari warga. Namun Trisno mendapat bantuan dari pemuda desa. Karena mereka percaya pada pemikiran pemuda desa yang telah mengembara di kota.

Tantangan terberat memang dari warga yang sebagian besar adalah petani dan peternak. Mimpi Trisno adalah menjadikan desa menari sebagai perusahaan sosial. Kelak bisa dinikmati oleh anak cucu dengan adanya wisata yang experience tourisme.

Trisno menginginkan homestay yang digunakan untuk pengunjung harus ada pemiliknya. Jadi pengunjung bisa berbaur dengan kegiatan keseharian pemilik homestay.

Bagi Trisno, kehadiran Astra di Desa Menari mempercepat perkembangan desa. Empat Pilar Program dari Astra berjalan beriringan dengan Tanon. Dusun yang sederhana namun telah berkembang dengan mengangkat kearifan lokal. 

Trisno menginginkan desanya berubah. Dari dulu pendidikan di Dusun Tanon masih tertinggal. Bahkan banyak penduduk desa yang tidak lulus SMP. Sebagian besar alasannya karena masalah ekonomi. Pemuda yang sudah cukup umur memilih untuk mencari pekerjaan atau bertani. Berbeda dengan Trisno, dia bertekat untuk sekolah tinggi dan lulus sebagai seorang sarjana.

Sosok Trisno menjadi contoh yang diharapkan mampu menggugah warga desa agar tidak diam di tempat. 


Saya dan Trisno
Dahulu sekitar tahun 2006 - 2009 impiannya gagal karena banyak hambatan. Tantangan sumber daya manusia, tak ada dukungan dari pemerintah, bahkan infrastruktur juga masih belum ada.

Namun Trisno ingin warga desa mandiri, berkembang dari, oleh, dan untuk warga sendiri. Masyarakat diajak belajar, mencari solusi dari masalah dan konflik yang muncul. Mereka juga diajak mencari ide-ide yang menarik untuk diunggulkan dari desanya.

"Desa dengan menonjolkan tempat wisata udah ada banyak. Kami ingin menunjukkan karakter khas desa yang berbeda." ungkap Trisno.

Dari sana lah, muncul gagasan menjadikan karakter desa berupa kearifan lokal dengan melihat suatu hal yang sederhana. Dari sudut pandang yang berbeda, kemudian melakukannya dengan cara yang berbeda, dan menikmati setiap prosesnya. Nantinya, pasti akan menghasilkan yang berbeda.


Histori Dusun Tanon

Saya dan beberapa teman mengikuti seorang warga yang menunjukkan beberapa pilar di Dusun Tanon. 

Dia berkisah bahwa Dusun Tanon masyarakatnya hidup dengan rukun dan masih memelihara budaya gotong royong dengan baik. Sebagian besar penduduknya masih dalam keturunan KI Tanuwijoyo. 

Ki Tanuwijoyo ini adalah murid dari Pangeran Diponegoro. Dusun Tanon dulunya memiliki nama Layup Tanon. Artinya desa yang mendapat ujian. 

Alasan pemberian nama ini adalah karena ada beberapa warganya yang suka minum minuman keras. Oleh Ki Tanuwijoyo, warga diajak untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Mereka diajak memperdalam ilmu agama, mengaji, dan lebih rajin bekerja mengelola pertanian dan peternakan.

Hingga saat ini masyarakatnya masih memegang teguh tradisi leluhur. Seperti tradisi saparan yang selalu dilakukan setiap bulan saparan. Semua penduduk akan berkunjung ke satu rumah ke rumah lain. 

Nah, aslinya Dusun Tanon ini setiap harinya juga seperti dusun lain di wilayah Indonesia. Kegiatan penduduknya adalah berkebun dan beternak sapi perah. Kalo sedang tidak ada event seperti Festival di Lereng Telomoyo, suasan dusun juga sepi dan nggak semeriah ini.


Jadi misal ingin berkunjung ke Dusun Tanon dan menikmati musik rancak serta tarian dan dolanan seperti saya dan rombongan, kamu harus reservasi dulu. 

Siang itu berlalu tanpa terasa. Saya menikmati kunjungan di desa menari Dusun Tanon yang berbeda dari desa wisata lainnya.

Tarian Topeng Ayu menjadi sajian pamungkas kunjungan kami. Topeng Ayu merupakan nama lain dari Tari Ndayakan. Tarian yang muncul dari kawasan 5 gunung di Jawa Tengah ini memiliki nama asli yang eksotis. Yaitu "Toto Lempeng Irama Kenceng".

Tarian yang berirama rancak dari beberapa penari wanita dan dua penari pria ini mengundang decak kagum pengunjung yang hadir. Irama dan gerakannya berpadu rancak, tertata dengan iringan musik yang menghentak. 

Tarian ini kemudian dibranding ulang menjadi Tari Topeng Ayu, yang berasal dari kata "Toto Lempeng Hayuning Urip".



Saya seakan enggan meninggalkan Dusun Tanon dengan segala kegiatan yang multiperan. Langkah saya begitu berat, bukan karena belanjaan sayuran dan buah hasil kebun warga Dusun Tanon. Namun karena merasa ingin tinggal sejenak barang sehari atau dua hari di desa menari. Mungkin saya harus kembali kesini bersama keluarga untuk menikmati tinggal dan lebur bersama warganya dalam kegiatan memerah susu sapi.



Ah Tanon, saya ingin kembali kesini meski harus masuk dalam antrian reservasi yang panjang. Karena kabarnya untuk menikmati kegiatan bersama warga desa menari di Dusun Tanon, kamu harus reservasi terlebih dulu. Kalo kamu tidak reservasi, nanti nasibnya seperti saya yang datang kesana langsung tanpa pemberitahuan. Yuk berkunjung ke Dusun Tanon, Sahabat. Wassalamualaikum.

#KitaSATUIndonesia 
#IndonesiaBicaraBaik 
#LFAAPA2019SEMARANG
Reading Time: