Lomba Blog Cerpen : Hati Yang Butuh Diyakinkan - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Selasa, 09 Februari 2021

Lomba Blog Cerpen : Hati Yang Butuh Diyakinkan

 


Fatin tak pernah punya bayangan bakal ada di posisi seperti ini. Berdiri di antara dua kekasih dari masa lalu. Namun dia sadar waktu berpihak padanya.

------------------------ 

Udara di negeri ini tidak sama seperti di tanah kelahirannya. Matahari bersinar terik, sangat terik. Mengalahkan panas matahari di kotanya. Namun di sini kelembaban udara cukup rendah dibanding di negeri asalnya.  

 

Dengan topi lebar untuk melindungi kepala agar tidak mengalami heat stroke, Fatin berjalan agak cepat. Dia juga memakai kaca mata anti radiasi warna abu-abu muda yang bisa berubah warna saat di dalam ruangan.

 

Di sisinya berjalan Angga dengan tangan memegang sajadah lebar yang diletakkan di atas kepala. Kacamata serupa nangkring di batang hidungnya yang bangir.

 

Senyum tipis Fatin muncul manakala ingatannya terpaku pada memori dua tahun lalu. Hidung bangir lelaki itu lah yang bikin ia terpesona. Bentuk batang hidung yang cukup tinggi, melebar dan lurus hingga ke bawah, terlihat sempurna. Namun sang pemilik tak menyadari kelebihan fisik di bagian wajahnya.

 

“Ada apa ngelihatin wajahku?”

Fatin tersipu mendengar pertanyaan bernada canda yang mengagetkannya juga.

 

“Bikin kaget aja,”

“Yaa.. kan aku penasaran, emang ada apa di wajahku sampai perempuan cantik di sampingku ini menatap tanpa henti,”

 

Fatin mengerutkan bibirnya. Dia tak pernah pandai membalas candaan. Teman dan familinya mengenalnya sebagai perempuan yang pendiam. Sejak kecil dia tak pernah pintar bercanda. Teman sekolahnya menganggap Fatin adalah anak yang serius.

 

“Kita udah di tanah suci selama 9 hari. Kangen nggak sih dengan suasana kota kita yang sejuk?”

 

“Kangen pasti. Tapi suasana kota ini mampu meredam rasa kangen itu. Apalagi ada kamu bersamaku,”

 

“Ihhh… dari tadi ngegombal mulu,”

 

“Eh ini tuh ngomong jujur loh. Bukan ngegombal ala buaya darat,”

 

Candaaan di sela perjalanan dari hotel terhenti saat dari balik gedung nampak pelataran luas dengan payung-payung raksasa.

 

Mereka masih takjub bisa berkunjung ke tempat romantis ini. Berjalan penuh tekad menuju pagar yang memisahkan tempat shalat perempuan dan laki-laki.

 

“Nanti ketemu di sini lagi kan?”

 

Fatin mengangguk. Mata teduh laki-laki yang baru menjadi suaminya selama satu setengah tahun itu menatapnya lembut. Saling mengucapkan salam, mereka menjauh dan berjalan menuju bagian dalam masjid. Melintasi payung yang sesekali menyemburkan uap dingin di ujung batangnya. 


Sebentar lagi Angga ulang tahun. Dia ingin memberikan sesuatu yang berharga namun bukan benda yang harganya mahal. Mumpung lagi di negeri orang kan, dia bisa mencari di mall yang ada di dekat hotel. Jadi agar ada kenangan juga hadiah ulang tahun yang dia belikan untuk suaminya di kota suci.

 

Fatin menengok ke kanan, melintasi pagar pembatas. Nampak sosok gagah laki-laki yang amat ia cintai. Mendadak tatapannya terpaku pada wajah yang familiar berjarak tiga meter di sampingnya.

 

Dengan berbalik arah, Fatin pura-pura tak melihat perempuan yang mengenakan hijab warna senada dengan gamisnya. Dia berjalan cepat memasuki ruangan dalam masjid. Memilih tempat agak depan yang sebenarnya udah tak nampak ruang kosong. Jemaah nampak padat di saf terdepan hingga 6 baris di belakangnya. Namun Fatin mencoba peruntungan. Sesekali dia bisa menyelinap di antara jemaah untuk mendapatkan tempat shalat.

 

Dia melaksanakan shalat sunnah beberapa saat. Masih satu jam lagi waktu shalat Dhuhur dimulai dan dia mengisinya dengan membaca mushaf.

 

Sejam lewat sepuluh menit kemudian, ucapan salam sang imam mengakhiri shalat fardhu. Fatin berdoa sebentar sebelum melanjutkan shalat sunnah badliyah. Usai shalat sunnah, Fatin berdiri sambil melirik jam di dinding sebelah kiri. Dia tak perlu bergegas. Angga akan menantinya di tempat sama saat mereka berpisah. Ritme yang rutin mereka jalani selama di kota ini.

 

Mendadak pikirannya terpusat pada perempuan yang tak sengaja ia jumpai. Meski dari jarak tiga meter, ia yakin siapa perempuan itu. Hatinya mendadak jadi gelisah. Bukan… bukannya dia cemas bertemu langsung dengan perempuan itu. Namun… ah entah lah perasaan apa yang hadir di relung hatinya saat ini. Ia tak pernah mengalami hal ini.

 

Rasa enggan mengiringi langkah kakinya yang berjalan sangat pelan. Kesadaran tentang kehadiran perempuan itu mengusik hatinya.

 

  

Fatin terbangun oleh suara gemericik dari dalam kamar mandi di kamar hotel. Tangannya mencari gawai yang sebelum tidur ada di nakas samping tempat tidurnya. Haahhh … udah jam 02.00!

 

Kakinya turun dari tempat tidur. Sementara tangan kanannya meraih mukena bagian atas, tangan kirinya memegang tote bag hitam bergambar burung hantu. Dia tumpuk kedua benda itu di ujung tempat tidur.

 

Sekarang Fatin mengambil CD dan Bra yang selalu disiapkannya di atas bantal sebelum tidur. Dia melangkah ke depan pintu kamar mandi sambil melirik teman sekamar yang tengah terlelap tidur.

 

Handuk kecilnya ada di jemuran depan kamar mandi. Dia meraih dan melingkarkannya di atas bahu. Teman sekamar yang lain tengah memakai baju di dalam kamar mandi. Tak ada lagi suara gemericik dari dalam sana.

 

“Haii … mau mandi? Barengan ke masjid abis ini?”

 

Fatin mengangguk dan tersenyum. Menguar aroma wangi sabun mandi begitu Arni keluar.

 

“Wiwid ikut nggak sih?”

“Semalam udah bilang kalo dia akan bareng suaminya,”

“Oke, jadi hanya kita berempat ya?”

 

Fatin sudah menutup pintu kamar mandi sebelum mendengar jawaban Arni. Dia ingin segera menuntaskan kebutuhan rutin tiap pagi.

 

10 menit kemudian Fatin sudah melangkah keluar dari kamar mandi. Dia masih butuh 15 menit untuk berpakaian dan mengenakan pelembab. Dia tak butuh bedak. Hanya polesan lip balm untuk melembabkan bibirkan agar tak mudah kering dan pecah. Ruangan bagian dalam masjid Nabawi sangat dingin. Dia harus rajin mengoleskan lip balm, memakai pelembab untuk wajah, dan body lotion untuk tangan dan kakinya.

 

Dan tak butuh waktu lama baginya untuk turun ke lobi hotel bersama Arni. Angga dan Dito, suami Arni sudah menanti di lobi. Mereka adalah pengawal yang setia tiap kali akan berjalan ke masjid atau kemana pun para istri ingin pergi ke satu tempat.

 

Seperti pagi itu usai shalat Shubuh dan dilanjutkan Dhuha, mereka mampir ke salah satu mall di hotel yang ada di dekat masjid. Meski memasuki gedung hotel bersama-sama, namun mereka pergi terpisah di dalam mall. Fatin dengan Angga, sementara Dito dengan Arni.

 

Fatin berjalan tanpa rencana apapun. Dia sedang tak ingin membeli sesuatu. Niatnya hanya ingin menikmati suasana mall. Penasaran mall di kota Madinan ini apakah sama dengan mall lain yang ada di Indonesia.

 

Tak disangka sosok yang familiar dan ingin dihindarinya mendadak muncul dari salah satu toko. Kali ini ada sosok laki-laki yang berjalan bersisian. Mereka tampak sebagai pasangan serasi.


"Masya Allah... siapa sangka aku bisa bertemu kalian di tempat ini?" seru perempuan cantik di depan mereka.


"Apa kabar? Bersyukur bisa bertemu kalian di sini," Angga menyapa pasangan suami istri di hadapannya.


Mereka terlibat perbincangan santai. Nggak cukup lama untuk mencari tahu kapan akan meninggalkan Madinah. Fatin pun tak banyak andil dalam perbincangan itu. 


Fatin tak pernah punya bayangan bakal ada di posisi seperti ini. Berdiri di antara dua kekasih dari masa lalu. Namun dia sadar waktu berpihak padanya. Dan sebenarnya ada sosok laki-laki yang sekarang adalah milik perempuan itu di antara mereka.


"Mengapa kamu diam aja?" cetus Angga begitu pasangan itu menjauh.

"Aku nggak tahu topik apa yang ingin kubicarakan,"

"Hmm ... bukan karena alasan lainnya?"

"Alasan apa misalnya?"

Angga tersenyum. 

"Ah, sudah lah. Kita ke food court aja yuk, lapar nih," 


Foto diambil dari inspirock

Fatin mengiyakan dengan mengikuti langkah Angga. Dia juga nggak ingin suaminya mengorek isi hatinya. Tidak ... dia tidak cemburu. Buat apa sih cemburu pada perempuan yang pernah mengisi hati suaminya bertahun lalu?


Namun sisi hatinya yang lain mengusik dengan sanggahan. Apa iya kamu nggak cemburu melihat tatapan perempuan itu pada Angga? 


Seketika istighfar meluncur pelan dari bibirnya. Fatin yakin Angga sudah menjatuhkan pilihan hatinya. 


Mereka menikmati makanan di salah satu resto yang ada di food court. Ayam goreng tepung dan kentang menjadi pilihan Angga. Fatin sendiri lebih memilih kari ayam dan ayam panggang. 


"Fatin, aku ingin ngomong tentang Rani,"


Sebelum Fatin sempat menolak keinginan suaminya, laki-laki itu sudah bercerita panjang.


"Jangan pernah mempertanyakan cintaku, Fatin. Dia hanya masa lalu yang kebetulan sudah aku kenal sebelum dirimu. Yakinkan hatimu kalo aku akan setia di sisimu sepanjang usiaku,"


Fatin terpaku. Dia hanya tertunduk. Apakah terlihat oleh Angga bagaimana isi hatinya? Dia tak ingin mempertunjukkan hatinya yang galau oleh cemburu tak berdasar. Apalagi selama ini Angga setia menjaga hatinya. Tak pernah genit pada perempuan lain. 


Tapi dia tak mampu membalas ucapan Angga saat ini. Entah lah, apakah terlampau malu untuk mengakuinya. Meski hatinya menjawab dia tak cemburu pada perempuan itu. 


"Fatin, aku minta maaf kalo sikapku ada yang kurang berkenan di hatimu. Bicarakan apapun isi hatimu, jangan diam aja, oke?"

"Oke, makasih Ngga. Udah baik padaku selama ini,"

Angga tersenyum. Fatin mengajaknya beranjak dari resto. Mereka memutuskan akan memutari mall untuk mencari oleh-oleh. Tentu saja oleh-oleh ini hanya untuk orang terdekat, seperti orang tua dan saudara kandung. Besok mereka sudah meninggalkan kota Madinah dan menuju Jedah untuk terbang ke Jakarta.

----------------------

Angga menunggunya di gate 11 Masjid Nabawi. Fatin sengaja berjalan perlahan sambil menatap lekat sosok suaminya dari jauh. Tangannya merogoh ke dalam tas. Meyakinkan dirinya bahwa benda yang terbungkus kertas coklat itu tak ketinggalan di kamar hotel. 


"Mengapa senyum-senyum, Fatin?"

"Hatiku lagi hepi,"

"Senang mau pulang ke tanah air?"

"Aslinya sedih, tapi masa iya kita di sini terus?"

"Semoga kita ada rejeki bisa kembali kesini lagi, aamiin,"

Fatin mengaminkan doa Angga. Tangannya sedang mengambil bungkusan kotak dari dalam tas saat Angga menarik lengannya ke lorong di antara hotel. 


"Mau ambil apa, dompet?" Angga menatap tangannya yang berada di dalam tas.


Fatin tersenyum seraya mengulurkan kotak berwarna coklat pada Angga. 

"Selamat hari lahir, sayangku. Semoga bertambah hari, bertambah sayang juga padaku, dan tak pernah berpaling pada yang lain,"


Fatin tak yakin mampu menyembunyikan rasa malu saat mengucapkan kalimat itu pada Angga. Dia harus menepis jauh ketakutan yang bersemayam di hatinya.

"Masya Allah, makasih sayang. Di sini, di depan Masjid Nabawi, aku berjanji untuk tetap setia pada istriku yang selalu memperhatikan kebutuhanku selama ini,"

"Doa terbaik sudah aku untai usai shalat Shubuh tadi di dalam masjid. Semoga berkah setiap langkah kita sepanjang usia ya, Ngga,"

Angga mengaminkan seraya memeluk tubuhnya dengan lembut. Mereka berjalan bersisian dalam diam.



Fatin berjanji dalam hati, dirinya tidak akan pernah menyangsikan cinta Angga. Memang sebelum hari ini dia butuh diyakinkan oleh suaminya. Namun saat ini dan seterusnya dia tak lagi membutuhkan itu. Cinta Angga sudah dia genggam erat. Hati Angga sudah menjadi miliknya. Selamanya hingga maut memisahkan mereka. Aamiin.

____________________________


Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi 

“Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel"




10 komentar:

  1. aamiin, wow so sweet banget sih ceritanya, bikin tersenyum manis, eaaa, makasih ya mbak sudah ikutan lombanya

    BalasHapus
  2. Aaah..kangen suasana Nabawi yang selalu menentramkan hati. Bagus ceritanya, mba Wati..

    BalasHapus
  3. Kisah yang manis ya Mba, duh di rumah Allah jadi pengen main ke Nabawi. Bismillah amin, hehehe ngebayangin mereka jadinya. Bagian cd dan bra aku ngakak mba Hiday heheh.

    BalasHapus
  4. Suka banget setting cerpennya, ceritanya pun manis.. keren cara Angga meyakinkan istrinya jadi Fatin tenang dan merasa yakin dicintai...

    BalasHapus
  5. Ah... Manis.. Janji untuk setia itu bagiku mahal... Meleleh bacanya ih.... Settingnya jd pengen kesana juga nih buk. Doain yaaa

    BalasHapus
  6. Manis sekali ceritanya... Jadi ngebayangin jadi si tokoh euy, hahaha. Semoga suatau saat diriku bisa kesampaian juga masjid Nabawi. Aamiin....

    BalasHapus
  7. Manisnya Fatin dan Angga.
    Semoga bisa menyusul mereka, berpelukan dan jalan bersisian di depan masjid Nabawi, serta tempat-tempat suci lainnya di Mekkah.
    Aamiin ya Allah

    BalasHapus
  8. Settingnya dan ceritanya bikin baper, berasa lagi nonton drakor. Eh tapi drakor mana ada yang settingnya di Tanah Suci ya, hehe. Bagus banget mbak Wati, jadi pengen meluk suamik setelah baca cerpen ini.

    BalasHapus
  9. Waah so sweet Fatin dan Angga. Ketemu mantan rasanya emang gimanaaaa gitu yaaa. Hahahaa.

    BalasHapus
  10. Waah kisah manis yang bikin hati jadi terasa hangat nih Mbaa. .. Sweet ya akhirnya Fatin bertemu dengan Angga

    BalasHapus