CINTA DI TANAH HARAAM - Seandainya Saya Menjadi Khumairah - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Kamis, 29 Januari 2015

CINTA DI TANAH HARAAM - Seandainya Saya Menjadi Khumairah



Sebagai perempuan, aku selalu berharap keindahan. Takdir telah menuntun langkahku bertemu dengan Zidan. Takdir pula yang menautkan cinta kami dalam ikrar suci perkawinan. Ketika kebohongan itu terkuak, batinku meronta. Pengkhianatan Zidan telah memporak-porandakan cinta yang kujaga sepenuh hati.

Di antara pilar kokoh Masjidil Haraam, aku duduk bersimpuh. Tak terasa dinginnya penyejuk udara di dalam ruangan, manakala air mata ini tak henti membasahi pipi. Luka di hati ini telah merajai permukaannya. Bisakah sujud ini melebur luka di dalam hatiku? Menyembuhkan rasa sakit tak terperi hingga aku bisa kembali tersenyum?

Asa itu masih ada. Menanti aku bangkit dan menyongsongnya. Namun itu bukan asaku. Karena sejak dulu aku selalu setia memeluk raganya dengan cinta. Ah, Zidan... Andai kau tahu, tak ada laki-laki lain yang bisa mengganti hadirmu. Meski Gibran tak lelah berdiri di belakangku. Siap menjadi jaring pengamanku kapan pun aku terjatuh.

Aku bahkan masih mengingat ucapan laki-laki itu. Ketika aku menolak keinginannya berangkat bersama menuju Masjidil Haraam. Gibran yang penyayang kepada semua jemaah haji. Selalu siap mengulurkan tangan, menawarkan bantuan.

"Khumairah... bagiku, cukup lah menatap senyum tersemat di wajahmu."

Tapi aku tak mampu lagi menghadirkan senyum yang indah. Aku tak bisa mengkhianati hatiku yang luka dengan memasang wajah ceria. Sebagian orang memintaku agar hati ini berdamai dengan kenyataan. Memaafkan dan menerima Zidan kembali. Abaikan perempuan itu. Terima setiap kesalahan yang telah dilakukan suamimu. Bukankah di tanah haraam ini ia belajar ikhlas? 

Aku tersedu dalam sujudku. 
"Allahku... aku sudah memaafkan Zidan. Tapi salahkah bila aku pergi menjauh darinya?"

Sosok Gibran hadir sesaat. Aku makin tersedu. Bukan dia yang kuingin hadir saat ini. Meski setiap ucapan dan sikapnya selalu membayangi langkah ini. 

Kutegakkan tubuh ini. Mengakhiri munajat dinihari yang entah mengapa, mampu menghadirkan kesejukan di relung hatiku. Ada tangan-tangan lembut yang menyelimuti ragaku dengan kehangatan. 

Aku telah memilih. Di atas tanah haraam, pada bulan Dzulhijjah ini, hanya satu cinta yang senantiasa kurawat. Cintaku pada Allah. Tak ada yang mampu menandingi. Tidak Gibran. Apalagi Zidan.

Pandanganku tertuju pada mushaf di rak berwarna emas. Tak terasa, langkah ini ringan menghampiri dan mengambil satu dari atas tumpukan rapi itu. Aku kembali ke tempat dudukku. Dengan takwa yang menjaga raga ini, aku mulai melantunkan ayat demi ayat dalam mushaf di dalam Masjidil Haraam.

4 komentar:

  1. Mengharukan banget, Mbak. Hal ini memang ujian berat untuk wanita-wanita yang mengalami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju mbak, aku jadi gak sabar nunggu bukunya terbit.

      Hapus
  2. Menarik sepertinya ya mba..ini fiksi ya??

    BalasHapus