My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi: Jajanan tradisional
Tampilkan postingan dengan label Jajanan tradisional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jajanan tradisional. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Februari 2023

Angkringan Dari Masa ke Masa, Apakah Tak Berubah?
Februari 03, 2023 21 Comments

Angkringan Tempo Dulu dan Jaman Now, Apa Bedanya?

Assalamulaikum Sahabat. Siapa yang belum pernah jajan di angkringan? Ahh pasti rata-rata pembaca blog ini udah pernah nongkong di angkringan meski hanya satu kali. Karena rasa penasaran dan kemudian tidak suka dengan suasana angkringan, misalnya.

Angkringan

Saya sendiri cukup sering jajan di angkringan. Dari angkringan yang sederhana hingga yang ada di resto. Iya, resto yang ada di hotel pun juga ada kok yang memiliki angkringan. Meski mungkin hanya seremonial, misal pada bulan tertentu atau satu bulan sekali untuk menggaet konsumen kelas menengah ke atas.

Sejarah Angkringan, Dulunya Jualan Apa?

Meski terkenalnya angkringan ada di Yogyakarta, sebenarnya awalnya berasal dari Solo Jawa Tengah. Adalah Eyang Karso (berasal dari Klaten) yang sejak berumur 15 tahun merantau ke Solo dengan harapan ingin mengubah nasibnya. Di Solo ini lah beliau bertemu dengan Eyang Wiryo. Mereka berdua berinisiatif kerjasama usaha makanan yang akhirnya menjadi cikal bakal angkringan.

Ide berjualan dengan menggunakan dua angkring yang dipikul keliling kampung. Mereka berjualan mulai sore hingga tengah malam. Biasanya mereka akan berhenti ketika ada yang akan membeli. Satu persatu pembeli datang hingga terjadi kerumunan. 

Wajar saja dagangan mereka laris karena yang dijual berupa makanan kecil seperti blanggem (singkong goreng), jadah goreng, nasi kucing, sate telur puyuh, sate kikil, sate keong, dan lainnya.  Jajanan rakyat yang mengenyangkan dan harganya juga terjangkau. 

Harga makanan yang dijajakan terjangkau oleh pembeli tentu bakal jadi favorit. Begitu pula minumannya, karena dijajakan malam hari pasti yang disediakan adalah teh panas, jahe, susu, dan kopi. Semua minuman ini sangat disukai rakyat kecil. 

Angkringan dahulu juga menjadi tempat orang ngobrol tentang topik beragam. Terkadang obrolan menjadi makin seru karena makin banyak orang yang nimbrung. Terasa hangat dan akrab meski tak saling kenal.

Angkringan Jaman Now

Saya ingat tahun 2014, IIDN Semarang pernah mengajak One Day Trip ke Solo. Kunjungan ke penerbit dan dilanjutkan jalan-jalan ke perkampungan batik, serta mampir ke Kafe Tiga Tjeret. Saya terkesan dengan kafe ini karena mengusung konsep angkringan. 

Angkringan
Kafe Tiga Tjeret, Solo (picture by Dewi Rieka)

Dan konsep angkringan yang saat ini populer di beberapa kota, Solo dan Yogya, serta Semarang ini sudah mewabah ke tempat lain. 

Bahkan di Semarang pun udah ada beberapa angkringan dengan tempat seperti kafe Tiga Tjeret. Memiliki perpaduan outdoor dan indoor untuk mewujudkan konsep angkringan. 

Makanan dijajakan dalam wadah yang lebih menarik dan bersih, dengan penataan dalam satu kelompok. Nasi kucing yang dibungkus daun pisang atau kertas coklat dikelompokkan dalam satu wadah. Sementara cemilan untuk lauk pelengkap nasi juga dalam kelompok sendiri. Beberapa sate disusun tiap jenisnya dalam wadah berbeda. 



Cemilan yang ditawarkan pun makin beragam, tidak seperti jaman dulu yang hanya ada jajanan tradisional. Sekarang di beberapa angkringan bisa kalian temukan dimsum seperti siomay dan pangsit. Bahkan sate pun tidak hanya sate usus, sate telur puyuh, sate keong. Namun juga ada sate sosis, sate ayam filet, sate lilit Bali, dan lainnya.

Angkringan dan Live Music Lebih Menarik?

Sekarang jajan di angkringan tidak hanya ingin mengenyangkan perut. Namun juga mengisi jiwa. Bagi kamu yang sedang resah, entah disebabkan putus cinta, stres dengan tugas kuliah atau pekerjaan di kantor, nggak usah sendirian di kamar. Datang saja ke angkringan.

Dengan bermodal duit 20 ribuan juga bisa kok menikmati dua bungkus nasi ditambah gorengan bakwan, mendoan, atau martabak. Kalo ingin menambah sate, juga masih bisa asal gorengannya ambil satu aja. Minumnya bisa jahe, wedan uwuh, atau teh panas. Perut udah kenyang pastinya.

Angkringan
Saya berdua dengan suami, hanya bayar 50 ribuan

Sambil menikmati makanan, kamu bisa mendengarkan suara merdu dari penyanyi. Pengelola angkirangan jaman now, sekarang ini tidak hanya menyajikan makanan namun juga hiburan musik dari band lokal.

Kamu yang ingin menyumbang lagu, boleh loh unjuk suara merdunya. Bahkan mereka pun tak melarang pemilik suara fals untuk ikut nyanyi. Yang penting kamu punya modal percaya diri, itu udah cukup. Paling kalo parah suaranya ya dapat aplaus sorakan, gak apa sih yaa. Malah nambah suasana angkringan makin seru dan menyenangkan. 

Hati yang gundah menjadi cerah. Wajah muram menjadi sumringah. Semua karena ikut ngumpul bersama pengunjung yang tidak kalian kenal namun menikmati hal yang sama. Suasana angkringan dari jaman dulu hingga jaman now tidak berubah. 

Angkringan

Angkringan memiliki nuansa sama sebagai tempat berkumpulnya orang yang ingin menikmati makanan dan wedangan. Tempat yang mempertemukan orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, kadang bisa ngobrol hal yang sama tanpa sekat. Kalo sekarang ada live music itu adalah bonus yang ditawarkan si pengelola.

Menurut kalian, angkringan jaman dulu dan jaman now lebih enak yang mana? Atau seperti saya yang nggak pernah nolak diajakin ke angkringan sederhana maupun yang ada live music, apa aja deh. Terutama kalo yang ngajakin besti, bisa nggibah sepuasnya. Tenaaang yang digibahin paling makanan kok, hehehe. Yuk cerita pengalaman kamu udah nongkrong di angkringan mana aja. Wassalamualaikum.


Sumber materi :
- https://id.wikipedia.org/wiki/Angkringan
- https://www.orami.co.id/magazine/angkringan
Reading Time:

Selasa, 31 Maret 2020

9 Jajanan Tradisional Yang Masih Bisa Ditemukan, Nomer 5 Paling Favorit!
Maret 31, 2020 21 Comments

9 Jajanan Tradisional Yang Ada di Semarang

Jajanan Tradisional

Assalamualaikum Sahabat. Ketika covid-19 belum merebak seperti sekarang, saya paling suka belanja ke pasar. Di samping bakal menemukan bahan masakan dengan harga lebih murah. Kadang juga menemukan jajanan pasar yang mengingatkan saya pada masa silam.

Saya lahir dan besar di kawasan pecinan dengan penduduk yang terdiri dari beragam etnis dan pemukiman padat. Kelebihan tinggal di kawasan ini adalah saya berasa menikmati surga kuliner dengan harga terjangkau.

Meski sudah meninggalkan tempat kelahiran begitu menikah, saya masih sesekali kulineran di kawasan tersebut. Karena ada beberapa jajanan yang tidak ada di tempat saya tinggal namun masih dijajakan di kampung halaman. Beruntungnya saya masih tetap tinggal di kota yang sama, yaitu Semarang.

Yuk saya kenalkan kamu dengan tujuh macam jajan pasar favorit :

1. Kue Lumpur

Jajanan Tradisional

Saya tidak tahu dari mana asal kue lumpur ini. Yang saya tahu adalah kue lumpur termasuk jajanan yang saya jumpai di tempat penjual di pasar. Kue-kue yang disusun rapi di atas baki ini waktu saya masih kecil dijual seharga lima rupiah. Hahahaa. Jangan kaget ya, karena saya memang lahir sebelum tahun 1970. Ketika harga-harga masih murah semuanya.

Kue yang terbuat dari kentang, tepung, santan, gula pasir, vanili, dan hiasan kismis di bagian atas ini paling enak dinikmati saat masih hangat. 

2. Nagasari


Kue yang terbuat dari tepung beras, vanili, gula pasir, dan isian pisang ini masih banyak dijumpai juga di tempat penjual jajanan. Nagasari ini juga saya perkenalkan pada anak-anak saya ketika mereka mulai usia 10 bulan. Sengaja saya kenalkan mereka dengan jajanan tradisional agar lebih menyukai cemilan sehat.

3. Kue Lapis

Kue kesukaan suami hingga detik ini karena rasanya memang lezat. Terbuat dari tepung ketan, santan, gula, dan tepung tapioka ini proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan. Selapis demi selapis adonan dituang dan dikukus setiap 10 menit. Saya pernah sekali membuat kue lapis ini, cukup sekali aja deh. Pegel dan bikin capek, hahahaa.

4. Serabi Inggris

Ada yang menyebutnya serabi solo juga karena berasal dari Kota Solo. Namun saya sudah mengenal serabi ini sejak masih kecil sebelum kenal Kota Solo. Ada penjual di pasar yang setiap pagi menyajikannya dengan uap panas masih mengepul.

Sekarang ini saya punya langganan penjual serabi di kawasan Mt. Haryono dan Pasar Karang Kembang di kawasan pecinan. Dua tempat ini penjualnya merupakan kakak adik keturunan Tionghoa. Harganya murah dan rasanya pun juga enak.

5. Getuk dan Lopis

Nah, in dia jajanan kesukaan saya dan suami, kayaknya kamu juga deh. Siapa coba yang nggak tergoda dengan getuk, klepon, lopis, dan teman-temannya. Dan semua itu tersaji di atas tampah (nampan yang terbuat dari anyaman bambu).

Penjaja getuk dan teman-temannya ini masih bisa saya jumpai di kawasan kompleks perumahan. Kalo saya hitung di satu pasar aja ada tiga penjual getuk ini. Setahu saya selain di satu pasar ini, masih ada yang menjajakan di pinggir jalan di lapak depan supermarket Giant, dekat minimarket jembatan dua, dan pasar lain yang ada di pasar di kompleks perumahan.


Jajanan Tradisional

Yang ada di foto di atas itu, dijajakan di dekat jembatan dua, di depan minimarket. Murah loh sebungkus harganya lima ribu rupiah. Kalo beli tiga ribu aja masih dilayani, cuma kalo saya sih kasihan aja. Saya memilih beli seharga 5 ribu rupiah, dapatnya juga banyak.

6. Lunpia


Lunpia sudah saya kenal sejak masih kanak-kanak. Karena memang saya tinggal di daerah pecinan, pembuatnya juga tetangga kampung sebelah. Makanya sejak kecil pun saya sudah suka makan lunpia. Bahkan sesekali kami menikmati lunpia sebagai lauk. Hahahaa.


7. Onde-Onde

Jajanan Tradisional

Jajanan ini juga banyak dibuat oleh sepupu saya, dahulu diajarkan oleh simbah. Saya paling suka kalo menunggui simbah bikin onde-onde. Kegiatan menggelindingkan onde-onde sehabis digoreng di wajan ke atas tumpukan wijen, jadi kesenangan tersendiri. 

Sayangnya sampai saat ini saya belum pernah bikin jajanan yang satu ini. Namun dari seluruh cucu simbah, baru dua orang sepupu yang bisa bikin onde-onde.

8. Apem dan Pasung

Jajanan ini sering jadi isian dos nasi ketika memperingati tujuh, 40, 100 hari, atau mendak (peringatan tahunan) orang yang meninggal. 



Ada maknanya yang diceritakan para tetua, bahwa apem itu ibarat payung dan pasung ibarat tongkat bagi yang telah almarhum. Maksudnya adalah jajanan ini untuk pengingat bahwa orang meninggal butuh perlindungan dengan menabung amalan sejak masih hidup dan terputus saat wafat. Dan meninggalkan tiga amalan selama hidupnya.

Dari seluruh cucu simbah, hanya seorang saya yang bisa bikin apem menul-menul dan pasung yang rasanya enak. Sayang foto pasung nggak bisa saya tampilkan. Saya terlupa nyimpan di folder yang mana.

9. Mendut

Jajanan ini juga favorit saya dan adik-adik, sepupu, karena ada yang pintar bikin. Bahkan ada beberapa sepupu yang pintar bikin mendut. Kalo saya sih sekadar bisa aja karena memang suka penasaran gitu kalo, pengen bikin sendiri kalo udah punya resep dari seseorang yang ahli.

Sekarang penjaja jajanan tradisional ini banyak yang menggunakan plastik sebagai pembungkusnya. Saya enggan beli kemasan seperti ini. Saya lebih suka yang pakai kemasan seperti jaman dulu, yaitu menggunakan daun pisang.

Nah, itu lah sembilan jajanan tradisional yang masih bisa ditemukan di kota tempat saya tinggal. Kamu bisa cerita apakah dari 9 jajanan di atas, ada yang bisa dijumpai di kota tempat tinggalmu. Sharing yuk Sahabat, wassalamualaikum.
Reading Time:

Minggu, 04 September 2016

Jajanan Favorit Masa Kecil Yang Selalu Bikin Kangen
September 04, 2016 22 Comments
www.hidayah-art.com

Assalamu'alaikum. Jajanan favorit masa kecil yang selalu bikin kangen itu banyak banget. Hahaha, ketahuan banget sejak kecil doyan jajan. Eh tapi jajanan jaman dulu tuh kebanyakan yang bikin juga ibu, atau tetangga. Jajanan kemasan kayaknya baru sedikit. Yang paling saya ingat adalah kue kering yang udah nggak utuh lagi. Mirip dengan kue kering dalam kaleng yang isinya bermacam rasa dan jenis. Namun kue kering yang nggak utuh lagi itu dikemas dalam plastik. Kalo nggak salah nama merknya Susana. Yang seangkatan sama saya masih ingat nggak sih? Bener nggak namanya Susana, hahaha. Malah pengen ngakak.
Reading Time: