MENGAPA ANAK SAYA MESTI OPERASI, DOKTER? - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Rabu, 04 Februari 2015

MENGAPA ANAK SAYA MESTI OPERASI, DOKTER?

Milzam saat usia 15 bulan, sebelum operasi hernia
Assalamualaikum. Mengapa Anak Saya Mesti Operasi, Dokter? Sebagai ibu, saat itu saya lagi senang-senangnya membesarkan si sulung. Dengan tumbuh kembang yang sehat, Milzam layaknya anak balita lain, bersemangat dan pintar. Usia 11 bulan sudah mulai berjalan tertatih, menggemaskan sekali. 

Namun kebahagian, tawa riang kami tiba-tiba terhempas. Ketika satu hari putra kami menjerit kesakitan. Gerimis di pipinya mengguratkan rasa sakit. Saya dan suami tak mengerti apa penyebabnya. Saya pikir ada semut yang menggigit. Tapi masa iya sampe kesakitan begitu? 


Saya pun melepas bajunya. Dengan cermat, saya amati sekujur tubuhnya. Tak ada satu binatang pun yang nampak di sana. Bekas gigitan semut pun tak ada. Namun saat mata saya tiba di lipatan paha, ada yang aneh yang tak pernah terlihat sebelumnya. Ini benjolan apa, pikir saya sambil merabanya. Milzam seketika menjerit. Makdeggg... Tak sadar jemari ini terangkat kaget. 

"Ini benjolan apa sih, Mas?"

Suami menatap tubuh si sulung lebih cermat. Ia menggeleng. Kebingungan tampak jelas di wajahnya.

Saat itu Milzam sudah tak lagi menangis kesakitan. Dan benjolan itu menghilang seiring tangis yang menyurut. Namun hati saya sudah cemas bin bingung. Benjolan di lipatan paha, di bawah perutnya itu pasti sesuatu yang harus kami cari tahu secepatnya. Apalagi kalau benjolan itu muncul diiringi tangis kesakitan si sulung.

Dari curhat dengan famili, ternyata benjolan itu adalah Hernia. Orang Jawa menyebutnya 'Tedun'. Banyak juga anak kecil yang mengalaminya. Tetua di lingkungan kami menyarankan agar membawa si sulung pijat. Juga memakaikan celana berpenyangga khusus agar menahan benjolan tak lagi turun.

Karena tidak paham, saya dan suami pun melaksanakan saran tetangga dan kerabat ini. Saran yang hingga detik ini sangat saya sesalkan.

Gimana nggak nyesel, kalau ternyata Hernia itu hanya bisa sembuh melalui proses operasi. Pijatan itu hanya obat sementara. Tapi kadang malah bisa bikin makin parah. Duuuhhh...maafkan ibu ya, sayang *sedih banget

Setelah menggali informasi yang lebih valid, saya segera membawa si sulung ke dokter. Dokter Bedah Digestiv ini atas saran sepupu ipar saya. Terlebih si sulung beberapa kali menangis tiap kali benjolan itu muncul. Beliau sangat terkenal di kota kami. Dr. Andi Maleachi yang saya temui, segera menjelaskan benjolan yang kadang muncul kadang lenyap.

"Apa sih penyebab sakit anak saya, Dok?"
"Hernia itu bukan penyakit, tapi cacat bawaan sejak dalam kandungan,"

Makin sedih saya mendengar ucapan sang dokter. Saya pun menggali ingatan, apa ada yang salah dengan konsumi makanan selama hamil. Namun lagi-lagi dokter membesarkan hati ini. Karena tak ada yang bisa menjawab dengan pasti apa penyebabnya. 

Yang jelas Hernia sering terjadi pada anak laki-laki. Ini bukan penyakit keturunan. Takut juga saya bila kelak terjadi hal serupa pada keturunan kami berikutnya.

Dokter Andi menjelaskan kalau Hernia ini terjadi karena otot perut yang lemah. Ada rongga perut yang tak bisa menutup sendiri. Biasanya seiring dengan pertambahan usia, rongga ini akan menutup. Namun bila itu tak terjadi, bisa jadi penyebab munculnya hernia. Yaitu usus yang kejepit dan tidak bisa naik melewati rongga perut. 

Biasanya terjadi ketika si sulung banyak gerak, meloncat dengan semangat, terutama setelah makan. Usus yang berisi makanan itu tak bisa naik karena terjepit. Si sulung pun menangis. Makin menangis, makin kesakitan pula.

Dulu Dr andi menyarankan operasi, karena usus yang terjepit ini makin membesar. Takutnya bila terjadi komplikasi. Yaitu usus yang terjepit bakal menghambat aliran oksipgen ke dalam usus. Akibatnya usus bakal 'mati' atau terinfeksi dan harus dipotong. Kalau ini terjadi bisa membahayakan nyawa si sulung. Tindakan bedah hanya untuk menutup rongga perut agar usus tak lagi turun ke bawah dan terjepit di sana.

Mendengar keterangan ini, saya dan suami segera memutuskan si sulung harus operasi. Apalagi dokter menjelaskan lebih lanjut kalau operasi ini tidak semengerikan bayangan kami. 

"Ini hanya bedah ringan, paling butuh waktu nggak lebih setengah jam, Bu."

Ah, ringan hati ini mendengar penjelasan dokter.

Namun ternyata keinginan kami agar si sulung dipegang oleh Dr. Andi tak terwujud. Dokter terkenal itu baru bisa mengoperasi si sulung dua hari lagi. Sedangkan saya tak ingin lagi mendengar derai tangis si sulung yang kesakitan. Mendengar tangis itu bikin hati saya tersayat-sayat. Nyeri sekali, bikin saya menangis dalam hati. 

Allah tidak meninggalkan hambaNYA yang terus meminta pertolongan. Dr. Andi yang mendengar laporan saya, memberikan referensi temannya. Ya, saya menghubungi beliau lewat telepon. Karena saya tak mungkin duduk antri lagi di ruang prakteknya yang padat pasien. Saya nggak sabar ingin segera membawa si sulung ke rumah sakit.

Bantuan dokter yang terkenal suka menolong dan meringankan biaya ini sangat membantu kami. Beliau sendiri yang menghubungi teman sejawatnya. Tapi beliau juga memberi nomor telepon temannya. Jadi kami sama-sama menghubungi dokter Jhony Suaeb. 

Dr. Jhony Suaeb ternyata tak kalah baiknya. Beliau segera menyerahkan keputusan di tangan kami, kapan dan di mana pelaksanaan operasi si sulung. Rupanya riwayat sakit si sulung sudah diinformasikan langsung oleh Dr. Andi. 

Mata saya berkabut saat mendengar penjelasan ini lewat telepon. Ya Allah, orang-orang sibuk dan pintar ini mau menyempatkan waktunya untuk berdiskusi tentang si sulung. Hati ini jadi ringan menghadapi operasi si sulung. Saya dan suami hanya perlu menyiapkan dana dan doa. Doa yang terbaik untuk kesehatan si sulung.

Pagi-pagi kami serombongan berangkat ke rumah sakit Panti Wiloso. Milzam ini cucu sulung orang tua saya. Seluruh keluarga tak ingin saya sendirian menghadapi operasi ini. Namun sayang, suami tak bisa mendampingi saya. Ya sudah, masih banyak yang mendampingi saya kalau pun suami tak bisa hadir. Ia masih harus mengikuti ujian akhir semester di kampus. Saat menikah, suami masih kuliah di fakultas ekonomi.

Yang bikin hati saya makin berduka adalah, Milzam harus berpuasa. Usianya masih 17 bulan. Bayangkan, dia harus puasa makan dan minum sepanjang enam jam. Bayangkan pula kerepotan saya, bapak, adik-adik dan suami saat membujuk dan mengalihkan perhatian si sulung dari minum susu. Puasa makan bisa kami alihkan. Tapi mengalihkan keinginan si sulung agar tidak minum susu atau air putih sangat susah. Bujukan dengan mengajaknya bermain, hanya mampu mengalihkan perhatiannya sesaat. 

Akhirnya si om, adik saya membuatkannya mainan pesawat dari kertas. Kegiatan melipat, kemudian menerbangkannya mampu mengalihkan keinginan si sulung. Berkali-kali tawanya terdengar saat pesawat dari kertas menukik tajam ke lantai. 

Tingkah si sulung yang lucu dan menggemaskan, mengundang tanya banyak keluarga pasien. Anak sehat begitu kok masuk rumah sakit. Apalagi saat itu jarang sekali melakukan operasi pada penderita hernia. 

"Kan kasihan putranya, masih kecil kok dioperasi?"

Duuuh... hati saya makin tersayat mendengar pertanyaan itu. Biarlah, saya tak mau menjawab pertanyaan itu. Saya hanya ingin  mengikuti prosedur medis. Saya hanya ngin kesehatan si sulung pulih. *Jadi nangis mengingat ini

Saya menegarkan hati menjelang si sulung dibawa masuk ke kamar operasi. Dr. Jhony sudah siap di dalam ruangan bersama dokter anak dan dokter anestesi.  

Adegan rebutan si sulung bagai di sinetron. Air mata saya berderai. Saya tak ingin menyerahkan tubuh Milzam pada perawat. Bujukan perawat makin mengukuhkan hati saya. Saya tak rela bila detik itu adalah waktu terakhir saya bersama si sulung. Saya bagai hilang akal. Padahal informasi dokter sudah terang benderang, bahwa ini hanya operasi kecil. Tak ada yang perlu saya khawatirkan. 

Namanya juga ibu, tak mungkin saya bisa dengan mudah menerima kondisi ini. Saya tak tahu, apa saya masih bisa memeluk dan mencandai si sulung lagi. Hanya bujukan bapak saya yang mampu meluluhkan hati ini. Saya pun menyerahkan tubuh si sulung yang kebingungan kenapa ibunya menangis tak henti. Memeluk dengan kuat dan menciuminya.

Detik yang berjalan saya isi dengan membaca istighfar, shalawat dan surat pendek dalam Alquran. Tak saya biarkan mulut ini berhenti berdoa. Bukankah doa ibu adalah doa yang mujarab. Kekuatan doa yang sangat saya percayai. Saya percaya Allah bakal mengabulkan doa seorang ibu bagi anak-anaknya. 

Alhamdulillah, tak lebih dari dua puluh menit operasi berjalan dengan lancar. Perawat keluar dari kamar operasi membawa berita baik. Kami bisa bertemu lagi dengan si sulung tak lebih dari sepuluh menit.

Saya menyongsong si sulung yang masih tertidur karena anestesi. Saya cium dengan hati-hati. Saya tak ingin menyentuh bagian perut bawah yang sudah ditutupi kain kasa steril.

"Hasil operasi bagus. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Setelah siuman, usahakan jangan minum dulu. Tunggu hingga dua jam, baru boleh membasahi bibirnya dengan air putih."

Penjelasan dokter sebelum meninggalkan kamar perawatan si sulung seakan tak begitu penting. Mendengar operasi lancar, sudah membuat hati saya berbunga-bunga. Apalagi esok pagi pukul sepuluh Milzam sudah diijinkan pulang. Tak ada obat yang menyertainya. Milzam memang tidak sakit kok. Rongga perut sebelah kiri sudah dijahit, jadi sekarang si sulung sehat kembali. Hati saya bersorak riang.

Namun, benarkah cobaan kami berakhir?

Saya akan bercerita lagi, mengapa cerita ini masih berlanjut. Karena dua bulan kemudian, kembali si sulung harus menjalani operasi serupa. Tunggu ya....

Makasih kunjungannya... 


10 komentar:

  1. semoga sehat2 ya dek...nggak tega juga kalo lhat anak kecil sakit apalagi operasi,tapi bagaimana lagi.semoga dedek semakin sehat ya mbak

    BalasHapus
  2. Aduh mak deg2an bacanya,hernia itu krn usus terjepit jg ya mak mirip invaginasi juga. Tp dokternya baik2ya mak. Nunggu cetita lanjutannya ah

    BalasHapus
  3. jadi ikut menunggu ceroita selanjutnya mbak. mudah-mudahan baik-baik saja ya. Masalah puasa untuk anak kecil yang akan menjalani operasi agak berat ya mbak, Allhamdulillah bisa di lalui

    BalasHapus
  4. Semoga anaknya sehat selalu ya mak. Dan semua berjalan lancar.
    Salam kenal mak
    liswanti627.blogspot.com

    BalasHapus
  5. Mas Milzam emang udah tabah sejak kecil rupanya. Nunggu kelanjutan ceritanya aaahhh

    BalasHapus
  6. Wah, berarti bener ya ucapan teman saya Mak. Saya termasuk emak yang tegar. Saya hanya menangis dalam hati, karena tak tega mendengar jeritan dan tangisan Fatih/. Mana pas mau diinfus darahnya keluar..ih..Pikir saya, kalau saya menangis di depan dia, ntar dia malah semakin ketakutan. Semoga sehat terus ya Mak :)

    BalasHapus
  7. Mas milzam i heart youu...sehat terus ya mas...

    BalasHapus
  8. semoga mas milzam tetep sehat yaaa...

    BalasHapus
  9. Sedih mambacanya. :(
    Saya punya 2 anak laki2, bisa bayangkan cobaan ini. Apalagi di saat saya bayi juga pernah dioperasi pemotongan jari karena kelebihan 1. tentu kesedihan dan kebingungan membuat bayi puasa mereka rasakan juga.

    BalasHapus
  10. Sedih bacanya :( , Milzam sayang sehat terus ya....Jadi kebanggan keluarga

    BalasHapus