MALAIKAT DARI DEPOK - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Sabtu, 22 November 2014

MALAIKAT DARI DEPOK



Masih ingat dengan engkel kakiku yang sempat terkilir bulan Mei lalu? Nah, menjelang berangkat ke tanah suci, sesekali aku masih merasakan nyeri saat beraktifitas. Solusinya aku harus memasang dekker di kaki bila akan mulai beraktifitas.


Namun, itu tak berpengaruh saat aktivitas shalat. Terutama saat posisi duduk tahiyat awal. Aku harus menahan nyeri hingga tubuh ini gemetar. Tahu kan, posisi duduk tahiyat awal adalah kaki kiri diduduki.

Rencananya waktu satu minggu menjelang keberangkatan, akan aku pergunakan untuk berbenah. Dan satu hari khusus akan kupergunakan untuk memijatkan kaki di bu Siti, di Gedawang Banyumanik. 



Namun apa daya, tamu banyak yang berkunjung ke rumah. Kasihan juga ninggalin teman atau kerabat yang datang. Saat itu akhirnya aku hanya bisa berdoa, moga aja seiring berjalannya waktu, nyeri itu akan hilang. Aku hanya merendam kaki dengan air hangat. Eh, air ini bukan air biasa, temaaan. Ada bumbu dapur berupa sereh dan garam, yang dimasukkan dalam rebusannya. *bukan untuk diminum lho yaaaa

Saat di Madinah, meski mendapat hotel yang lumayan jauh dan harus berjalan, aku tidak begitu lelah. Malah teman sekamar selalu memakai krim pegal-pegal pemberian dinas kesehatan usai pulang dari masjid. Aku sih sengaja tak memakai krim karena tak ingin kecanduan. Capai sedikit langsung pakai. Enggak laaah... Meski aku juga memiliki krim itu, bahkan punya cadangan karena sudah membawa dari rumah.

Siang itu seperti biasa menjelang pukul sepuluh, aku bersama suami sudah berangkat ke masjid. Sudah dua hari aku tak berangkat bareng teman satu kamar. Alasanku karena usai shalat Dzuhur aku tidak pulang untuk mengambil jatah makan siang.
      
“Eman-eman lho jatah makannya kalo nggak pulang,” bujuk bu Yati.
“Iya, siapa yang mau ngabisin? Mubazir kan?” balas bu Endang.

Bukannya aku ingin menyia-siakan makan siangku. Tapi pulang usai shalat Dzuhur saat mentari persis berada di atas kepala sungguh di luar akal sehatku. Itu namanya menyiksa diri. Belum lagi jalan kaki sepanjang setengah kilometer lebih mencapai hotel. Dan balik lagi saat menjelang shalat Ashar.

“Biarin ah. Aku kan ngeman kakiku. Lumayan sakit kalo harus pulang balik ke hotel dan masjid,”

Tetap berada di masjid hingga usai shalat Isya’ adalah salah satu kiat agar kaki kiriku tak mudah lelah. Apalagi aku sudah membawa bekal untuk makan siang. Sambil menunggu adzan Dzuhur, aku membaca quran per juz yang selalu siap di dalam ransel. Tiba-tiba tiga orang ibu datang mendekat dan meminta ijin duduk di sampingku.

“Iya Bu, ini masih kosong,” Aku tersenyum.
“Ah, enak ya baca qura’an tipis gini, enggak berat bawanya,”
      
Aku menyerahkan qur’an itu untuk dilihat dan dibaca sekilas.
“Kok sendirian mbak? Temannya mana?”
Aku pun bercerita alasanku duduk sendiri.
“Coba sini, biar ibu lihat kakinya,”

Aku terpana. Bukannya aku takut ibu di sebelahku ini tidak bisa memijat seperti tukang pijat professional. Justru aku kaget karena di tempat yang jauh dari kampungku, bisa bertemu dengan seorang ahli pijat.
     
“Tahan ya kalo sakit. Inshaa Allah, biasanya cukup sekali saja Ibu pijat, bisa sembuh,”

Sembari dipijat, aku terus melantunkan istihgfar dan shalawat. Biasanya dengan membacanya saja mampu mengurangi nyeri yang muncul. Sepuluh menit berlalu.
      
“Coba sekarang dipakai untuk duduk tahiyat awal,”

Perintah ibu itu langsung kulaksanakan. Subhannallah… nyeri itu tak ada lagi. Aku nyaman saja duduk dengan posisi yang benar. Tidak minggrang-minggring seperti biasanya.
     
“Alhamdulillah, sudah tidak sakit lagi, Bu,” Tatapanku lekat pada ibu itu.
“Sini Ibu pijit lagi,”

Hingga tiga kali pijatan, akhirnya ibu Supartiningsih memintaku mengulang gerakan tahiyat seperti tadi.
      
Aku meraih jemari beliau dan menciumnya. Kami berpelukan dalam suasana haru. Aku menangis karena bahagia. Bersyukur Allah alla waj’ala memberi kakiku kesembuhan yang sempurna. Melalui tangan dingin seorang ibu dari Depok. Aku menatap senyum di wajah ibu Suparti. Wajahnya basah oleh air mata.
      
Ibu nangis karena terharu melihat mbak Wati begitu bahagia,” 

Ah, ibu, siapa yang tak bakal bercucuran air mata saking tak kuasa menahan bahagia? Bahagia karena merasakan nikmat sehat? Bisa lagi shalat dengan posisi sempurna tanpa menahan nyeri.

Siang itu usai shalat Dzuhur, aku segera kirim sms pada suami. Isi pesannya, aku akan pulang dan memintanya bertemu di samping hotel Dar ‘El.

Suamiku pasti bertanya-tanya, mengapa kali ini aku pulang tak seperti biasa? Apalagi aku sudah membawa bekal untuk makan siang. Begitu menuju halaman luar Nabawi, aku bergegas menghampiri suami. Lupa sudah sebelum dipijat aku tak berani berlari.
      
“Ada apa?”
Aku raih lengan suami. Aku bisikkan pertemuanku dengan ibu Supartiningsih yang berasal dari Depok, Jawa Barat.
    
“Beliau mengundang kita ke penginapannya,”
“Nanti saja abis Maghrib kita kesana. Tapi ditelepon dulu. Sekarang pulang dan makan di rumah...

Nah, usai shalat maghrib, aku menghubungi telepon beliau. Nada tunggu berdering hingga lama. Tiga kali aku ulangi lagi. Hasilnya sama. Tak ada respon dari nomor telepon yang aku hubungi.

“Kok nggak diangkat?!”

Kami tak jadi silaturahmi dengan ibu Suparti. Esoknya aku ulangi lagi. Hingga teman sekamarku mengomentari peristiwa itu.

"Jangan-jangan beliau itu malaikat, mbak. Susah banget ditelepon…”

Ah, pikiran serupa sempat singgah di benakku. Apa iya ibu Suparti ini malaikat yang dikirim Allah Subhannahu Wa Ta’ala untuk menyembuhkan kakiku?


Thawaf di lantai 3
Dua hari menjelang keberangkatanku ke Makkah, kakiku sembuh berkat tangan dingin ibu Suparti. Kembali tangis bahagia penuh syukur mengalir deras di pipiku. 

Allah telah mempersiapkan kaki ini agar bisa sempurna menjalankan umroh wajib. Melaksanakan thawaf dengan tujuh kali memutari Ka’bah. Serta Sa’i dalam hitungan yang sama, antara bukit Saffa dan Marwa. Tentunya butuh fisik yang bugar dan prima.


Area Sai yang luas dan dingin karena AC

Tiba-tiba ingatanku melayang saat masih di tanah air. Ada doa yang aku panjatkan saat berbincang dengan ibu Siti di kliniknya. "Ya Allah, bisakah aku dipertemukan dengan tukang pijat bila kakiku kambuh saat berada di tanah suci?"

Dan Allah Tuhan Pemilik Rahmat telah mengijabah doaku di masjid Nabawi. Allah itu Qodiirun ‘alaa kulli syaii… Tidak ada yang tak mungkin buat Allah.

8 komentar:

  1. Allhamdulillah bertemu dengan orang yang baik hhati dan bisa menyembuhkan kakinya ya mbak. Terharu membacanya, selalu ada cara Allah untuk menyembuhkan umatnya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mbak, Allah Maha penyembuh. Makasih udah menyempatkan diri membaca yaaa

      Hapus
  2. Subhanallah...speechless...itu rejeki mba dr Allah dgn didatangkannya Bu Siti..smoga bisa ketemu Bu Siti lagi:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe bukan bu Siti mbak, tapi bu Supartiningsih. Ya rejeki yang tak ternilai dari Allah :)

      Hapus
  3. Ya Allah....kekuatan doa itu nyata ya mba Wati. Seperti yang mbak Wati ceritakan padaku kemarin..

    BalasHapus
  4. Rezeki ya mbak bisa dateng dlm.bentuk apapun. Ini rezeki bgt karena mbak wati jd bisa ibadah maksimal. Subhanallah

    BalasHapus