MOVE ON: KENANGAN MANIS YANG KAN KUINGAT DARIMU... - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Senin, 19 Mei 2014

MOVE ON: KENANGAN MANIS YANG KAN KUINGAT DARIMU...



Kamis, tanggal 15 Mei 2014, dengan kaki kiri yang masih dibalut perban mirip mummi, saya paksakan diri untuk takziah ke rumah keluarga ibu Nur Endah. Bersama suami dan si sulung, saya berangkat dari rumah jam 07.38 Wib.

Rumah besar berlantai dua itu tampak ramai oleh pelayat. Air mata ini menetes tanpa sadar. Terlebih saat si sulung almarhumah berjalan menyongsong kedatangan kami sekeluarga.

"Ibu kan masih sakit, kok datang kesini..." suara Bintang tersendat.

Saya tak kuasa menahan sesak di hati. Menatap mata Bintang yang sarat kehilangan. Saya sebenarnya tak ingin menangis. Saya ingin tegar saat bertemu dengan putra-putri almarhum.  Namun keinginan itu tak mampu saya penuhi. Menatap bangunan rumahnya saja saya sudah sedih tak kepalang.

"Kamu yang rukun ya sama adik-adik. Jangan kecewakan Mama.." hanya itu sepenggal kalimat yang mampu keluar dari mulut ini.

Karena saya yakin bila banyak berkata, pasti air mata ini akan deras mengucur. Sudahlah, cukup itu saja yang bisa saya ucakan untuk menghibur hati Bintang. 

Saya sedang berhalangan shalat. Karena itu pula saya tahan keinginan hati menatap wajah almarhumah. Saya hanya bisa mengucap kalimat istighfar, tasbih dan shalawat. Untuk almarhum dan juga menguatkan hati ini. Saya masih saja berharap, ini hanya mimpi. Dan saya akan terbangun dari mimpi buruk ini. 

Namun ini nyata. Putri bungsu almarhumah yang tersenyum mnyambut kedatangan teman-teman sekelasnya. Putra ketiga yang juga teman putra bungsu saya, tersenyum dari jauh melihat kehadiran saya. Atau wajah sarat kelelahan sang suami yang sibuk mengurus keperluan terakhir almarhumah. Semua itu nyata. 

Kembali berkeping kenangan hadir menyeruak. 

Saat perayaan kelulusan sulung kami dari SMPIT PAPB. Bujukan dari saya agar Bintang jangan sekolah pelayaran di Tangerang. Agar Bintang daftar seperti Milzam di SMK 7 (STEMBA) Semarang.

"Ah, apa bisa masuk? Nilai Bintang tak sebagus punya Milzam. Kalo Milzam pasti langsung masuk, lha nilai rata-ratanya 9,25. Bintang kan cuma 8,6," katanya.

"Udah, pede aja. Kan ada seleksi, nggak cuma dilihat dari hasil UN.  Kita kan bisa bantu doa?! Masa sih kamu tega anak baru lulus SMP langsung tinggal jauh di luar kota,"

Akhirnya hatinya luluh. Apalagi Bintang juga ingin satu sekolah lagi bareng Milzam. Alhamdulillah, perjuangan kami berhasil. Kedua anak itu bisa diterima setelah seleksi ketat dari tes fisik, tes kesehatan dan psiskotest serta tes tertulis mata pelajaran.

Almarhumah orang yang periang. Seperti ibu-ibu lain, selalu bercerita tentang putra-putrinya. Setiap bertemu yang hanya sesekali, saat menjemput anak-anak. Lambaian tangan dan senyum pasti selalu menyambut dari jarak jauh sekalipn. Dan saya selalu ringan hati menghampirinya bila lebih dulu tahu kehadirannya. Kami pun saling cipika cipiki, layaknya saudara yang kangen karena jarang bertemu.

Banyak kenangan selama ini. Seperti bantuannya mengenalkan penjahit seragam sekolah anak-anak yang dekat rumahnya. Mempersiapkan kebutuhan opspek sekolah si sulung. Atau bertemu di STEMBA, saat mengambil raport si sulung kami. Atau menghadiri rapat sekolah anak-anak. TAnpa janji temu, tanpa sms an, karena saya tak punya nomor hapenya :(

Entah mengapa, baru saya sadari, saya tak punya nomer hapenya. Padahal kami saling kenal bertahun ini. Saya tak pernah mengira akan menerima kabar duka itu. Saya tak pernah mendengar almarhumah sakit selama ini. 

Saya tak akan menyalahkan diri sendiri atau pun putra-putrinya . Karena mereka tak pernah mengabarkan sakit almarhumah. Terlebih mendengar perjuangan keempat putra-putrinya yang mengantarkan sang mama ke rumah sakit saat bulan Februari, karena papanya tengah berlayar. Berempat menunggui mama mereka di rumah sakit. Tidur dan makan di sana. Duuuh, hati ini tak kuasa menahan kesedihan. Mereka masih anak-anak meski si sulung berusia 19 tahun. 

Beruntung papanya bisa dihubungi dan segera menumpang kapal lain untuk mendarat. Sejak Februari itu pula almarhumah berjuang di dua rumah sakit untuk kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Sel kanker itu telah menjalar hingga ke jantung.

Takdir Allah telah ditetapkan. Pada usia yang masih muda, 41 tahun, almarhumah telah menjalani kehidupannya dengan baik. Sebagai ibu yang sayang, istri yang salihah dan putri yang berbakti pada orang tuanya. Sebagai manusia pun, beliau terkenal kedermawanannya. Mudah mengulurkan bantuan.

"Mama meninggal dengan tenang," Bintang bercerita sedikit.
"Tidak lama kan kesakitannya?" 
Bintang menggeleng.
"Mama sempat shalat Dhuhur berjamaah. Kemudian makan siang. Sejam setelah itu kondisi Mama drop. Tepat pukul setengah dua, napas Mama berangsur menghilang. Ada Papa dan saya yang mendampingi selama sakaratul maut itu,"

Penjelasan sulung almarhumah meredakan kesedihan hati ini. Meski tetap saja kehilangan itu tak akan surut. Saya tak akan lagi bertemu senyum manisnya yang hangat. Saya tak bisa lagi berbincang dengan almarhumah di teras sekolah Ghozi dan Naufal. Sambil menanti jam pulang sekolah mereka.

Allahummagfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha.. Semoga Allah swt mengampuni dosa dan kesalahan almarhumah Nur Endah Raharjanti. Semoga Allah swt menerima seluruh amal kebaikan yang telah ditanamnya selama hidup di dunia. Dan menempatkannya di tempat yang mulia. Bersama orang-orang mukmin yang telah mendahului kami.

Selamat jalan sahabatku....

4 komentar:

  1. Aamiin, semoga diberikan tempat yang terbaik ya mbak

    BalasHapus
  2. Sampe sekarang pun saya masih sedih bila terkenang senyumannya. MAsih saja berharap hari itu hanya satu mimpi buruk yang terjadi dalam tidur. Bukan nyata :(

    BalasHapus