Cerpen : KEINGINAN BAPAK - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Minggu, 25 November 2012

Cerpen : KEINGINAN BAPAK



 Cerpen ini dimuat di majalah Paras bulan Februari 2012. Yang ini versi asli sebelum diedit sedikit oleh editor. 
BAPAK
            Sudah hampir seminggu bapak berdiam di dalam kamar tidurnya.  Tak banyak lagi aktivitas yang dilakukan beliau.  Keluar kamar hanya untuk mandi dan makan.  Padahal, biasanya bapak rajin sekali jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan usai sholat Subuh.
            “Kita harus telepon Bondan.  Dia perlu tahu  kejadian ini, mas,” cetus Wiwid.
            “Ya sudah telepon adikmu sekarang.  Jangan sampai kita disalahkan nantinya,” jawab Kamal.
            Bondan tinggal tak jauh dari rumah mereka.  Meski tidak setiap hari, tapi dia dan istrinya acap menyambangi rumah ini.  Untunglah Bondan sedang di rumah.  Dia berjanji akan berkunjung malam ini usai sholat Maghrib.
            Seperti biasa bapak sudah masuk ke kamarnya usai sholat Maghrib.  Bondan dan Dewi tiba tak lama kemudian.   Mereka berempat memilih duduk di teras agar bapak tidak mendengarkan pembicaraan itu.
            Wiwid mengutarakan keresahannya.  Perubahan sikap dan perilaku sang bapak yang terjadi beberapa hari ini membuat dirinya merasa tak berguna sebagai anak.  Mereka jarang berbincang lagi.  Padahal usai jalan pagi, bapak akan duduk di teras dan menemani dirinya yang tengah menyiram tanaman.  Mereka bisa mengobrolkan dari hal sepele seperti mbok Muji, bakul jamu yang suka menggoda satpam di komplek, hingga demo mahasiswa yang menentang pemerintahan SBY.  Bapak tidak suka duduk menganggur.  Karena kadang bapak turut membersihkan rumput liar yang tumbuh di sela rumpun bunga, atau di pot.  Itu kegiatan rutin yang sering mereka lakukan pada pagi hari, ketika kedua putri dan suaminya sudah berangkat ke tempat tujuan masing-masing.
            “Kalian sudah bertanya, siapa tahu bapak sakit dan tidak berani mengungkapkan pada kita penyakitnya?”ucap Bondan pelan.
            “Bapak tidak sedang sakit, karena cek up kesehatan terakhir kan aku yang mengambil hasilnya?! Tidak ada masalah pada kesehatan bapak,” sahut Kamal.
            “Sepertinya bapak memendam sebuah keinginan.  Aku sudah membujuk bapak, bertanya apa gerangan yang beliau inginkan.  Tapi sia-sia, bapak tetap diam dengan pandangan menerawang,”
            “Mumgkin bapak kangen dengan ibu,”
            Ucapan Dewi ada benarnya.  Meski sebulan sekali bapak masih rajin nyekar ke makam ibu, tetap saja sosok seorang istri hanya terpatri dalam kenangan beliau.   Tanpa kehadiran raga di sisinya,  tentu lah berbeda.
            “Aahhh…mungkinkah bapak ingin seorang pendamping hidup? Bukan untuk menggantikan ibu, tapi…”
            Wiwid cemberut mendengar ucapan adiknya.  Dia memandang bergantian pada adik dan istrinya.  Mereka menahan diri untuk berbicara lebih lanjut.  Pandangannya beralih kepada suaminya.  Yang ditatap sedang asyik memperhatikan kea rah jalan.  Ataukah suaminya pun juga memikirkan hal yang sama, tapi takut untuk mengutarakan pada dirinya?
            “Ibu kan baru empat tahun meninggalkan kita? Masa bapak sudah ingin menikah lagi?”
            Mereka terdiam cukup lama.  Masing-masing larut dengan pikirannya.
            “Coba besok kamu bertanya pelan-pelan, apakah benar bapak ingin menikah lagi, mbak”
            “Kalau jawabannya iya?”
            “Ya, kita harus mencari tahu apa beliau sudah punya calon atau belum,”
            Serempak keempatnya saling berpandangan usai Dewi melontarkan perkataannya. 
            “Hei, kemungkinan itu selalu ada. Mungkin calonnya sudah ada, hingga bapak bingung mau membicarakannya pada kita,”
            “Ya, bisa saja bapak takut, … atau malu pada kita berempat,”
            Wiwid menghembuskan napas panjang.  Dalam benaknya, tak pernah sedikitpun terbersit bahwa bapaknya memiliki istri yang bukan ibu kandungnya.  Terlebih sepanjang perjalanan hidup berumah tangga bersama ibu, tak terdengar kisah perselingkuhan bapak dengan wanita lain.  Ibu adalah wanita pujaan bapak, begitu pula sebaliknya.
            “Kalian memberikan tugas yang sungguh berat kepadaku.  Karena aku selalu menganggap bapak adalah suami yang setia terhadap ibu kita, jadi aku tak memiliki bayangan kalau sepeninggal ibu, bapak akan menikah lagi,”
            “Karena kamu yang menjadi putri kesayangan bapak, mbak.  Kalian dekat sekali bagai dua orang sahabat,”
            Ucapan adiknya sangat ia pahami.  Mereka berdua memang seperti sahabat yang bebas membicarakan topik apa saja.  Tapi, perkara yang satu ini kan sangat sensitive.  Bagi dirinya.  Pasti begitu pula menurut bapak.  Hingga beliau menjadi pendiam dan tak berselera makan.
            “Yah, kalau memang bapak ingin menikah lagi tapi takut membicarakannya dengan kita, yang menjadi perubahan perilakunya, memang harus kamu yang mengajak beliau bicara.  Ini kan baru dugaan, siapa tahu bukan masalah itu yang menjadi pikiran bapak? Kita sebagai anak harus bersikap dewasa,”
            “Baiklah… besok, ketika cuma kami berdua yang ada di rumah, aku akan mencoba bicara dengan bapak,”
            Mereka saling mengusulkan dan memberi saran.  Hingga Wiwid merasa pikirannya tak lagi penuh dan hatinya sedikit tenang.  Sebenarnya tak ada masalah yang tak bisa terselesaikan, ketika ada banyak tambahan kepala yang membantu untuk memikirkan setiap permasalahan itu.
                                                            8888888
            Pagi berjalan sangat lambat.  Bahkan setelah dia sibuk menyelesaikan tugas rumah pun, jarum jam seakan tak beranjak.  Bapak sedang duduk di teras depan sambil melamun.  Wiwid yang sedari pagi memata-matai kegiatan bapaknya, merasa sangat berdosa.  Dan sekarang, ia sudah tidak tahan lagi memendam berjuta pertanyaan yang sudah dipersiapkan sejak semalam.
            Ketika  bapak beranjak dari kursi dan masuk ke ruang tamu, Wiwid berpura-pura sedang menata bantal di sofa.  Dengan ekor matanya, ia mengikuti langkah lelaki tua itu.  Bapak menuju dapur.  Dengan langkah perlahan, ia mengikuti dan berpura-pura menyiapkan menu untuk makan siang.
            “Bapak mau Wiwid buatkan teh?”
            “Tadi pagi kan sudah?!”
            Ups, iya ya, sudah lama bapak tidak mau minum teh terlalu banyak, pikirnya.
            “Duduk sini Pak, sudah lama lho kita tidak ngobrol.  Oh iya, hari Minggu besok Bapak ikut jalan sehat kan?”
            “Dalam rangka apa?” akhirnya bapak duduk juga di salah satu kursi plastik yang selalu ada di dapur.
            “Ulang tahun Lansia, kan Ibu Juwono sudah memberitahu bapak bulan lalu?”
            “Bapak sudah tua, Wid, otak tua ini sudah tidak mampu lagi menampung banyak memori. Kapasitasnya kan mulai menyempit?” bapak terkekeh.
            Hati Wiwid mencelos.  Aduh, sudah lama sekali rasanya ia tak mendengar  bapak tertawa geli.
            “Alhamdulillah bapak belum pikun.  Coba lihat orang seusia bapak di komplek rumah kita, hampir 90% sudah pikun.  Sudah makan, ehhh minta makan lagi.  Atau pergi keluar rumah, kemudian tidak bisa pulang, hingga membuat repot orang sekompleks, betul kan Pak?”
            Mereka tertawa bersama saat mengingat kejadian tersebut.
            “Pak, sudah berapa hari ini kok tidak jalan pagi?  Kakinya sakit ya?”
            “Lagi malas Wid.  Badanku sih sehat, kakiku juga tidak bermasalah.  Dulu kan ibumu yang sering mengeluh lututnya yang sakit,”
            “Iya memang.  Ibu sering menahan nyeri,”
            “Kasihan ibumu,”
            “Ibu sekarang sudah tidak lagi merasa sakit, pak.  Apa Bapak masih sering memikirkan ibu?” Wiwid menyelidiki dengan sambil lalu.  Tangannya sibuk memotong wortel dan sayuran lain yang akan dibuat trancam.
            “Namanya juga istri, ibu yang melahirkan anak-anak bapak, ya pasti selalu ingat.  Kadang bapak kangen.  Tapi, ibumu tak pernah datang berkunjung dalam mimpi,” pandangan bapak menerawang.
            “Ya, justru Bondan yang sering bermimpi tentang ibu,”
            “Ibumu kan dekat sekali dengan Bondan.  Sedangkan kamu malah akrabnya dengan bapak.  Yah, kamu memang anak gadis kesayangan bapak, nduk,”
            Wiwid tersenyum lembut.   Bapak tampak sudah tua.  Dia merasa kasihan.  Pada masa tuanya, bapak menjalani hidup tanpa pendamping di sisinya.  Wiwid tahu, meski mereka tinggal serumah, juga ada Bondan serta keluarganya yang sering berkunjung, bapak sering kesepian.  Apalagi tak ada lagi kegiatan yang cukup berarti yang dapat dilakukan beliau.
            “Bapak kesepian ya sepeninggal ibu?” Wiwid menghentikan kegiatannya sejenak dan memperhatikan raut muka bapak.
            “Di rumah kita, ibumu lah yang banyak bicara.  Tentu saja bapak kesepian begitu ibu meninggalkan kita.  Tapi kan ada anak-anakmu, kamu, suamimu, juga Bondan dan keluarganya.  Beruntunglah kalian tidak tinggal di luar kota.  Bapak tidak bisa membayangkannya, nduk,”
            “Tidak usah dibayangkan pak.  Tapi akhir-akhir ini aku sering melihat bapak melamun.  Atau berdiam di kamar berlama-lama.  Wiwid takut bapak tidak kerasan tinggal bersama kami,”
            “Jangan dipedulikan tingkah bapak, nduk.  Entah mengapa, bapak memang sedang malas beberapa hari ini.  Malas makan, malas olah raga.  Bahkan Cuma duduk di teras kalau pagi hari sambil menemani kamu menyiram tanaman pun, bapak juga aras-arasen,”
            “Itulah mengapa mas Kamal suka mendesak Wiwid bertanya kepada bapak.  Karena dia sudah bertanya pada bapak, tapi bapak bilang tidak ada apa-apa,”
            “Benar Wid, aku memang tidak sakit atau kecewa, atau apalah itu namanya pada kalian semua.  Bapak ini sudah tua, sudah wajar kalau kadang ingin diam dan tidak melakukan apa-apa,”
            Wiwid terdiam cukup lama.  Ia tengah menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan maksud dan tujuannya berbicara dengan bapak.
            “Pak, kalau bapak kesepian…”
            “Kamu kok bingung begitu?  Ada apa?” bapak menatapnya lembut.
            Ah, tatapan bapak malah semakin membuat mulutnya terkunci.  Semua kalimat yang telah disusunnya dengan bantuan suami dan adiknya, musnah sudah.  Sekarang ini otaknya kosong melompong.  Tidak ada ide apapun yang mampu mengembalikan lagi saran seperti yang mereka perbincangkan semalam.
            “Wid…?”
            “Bapak jangan marah ya?  Ehm… bapak kan tadi bilang sejak ibu meninggal, bapak merasa kesepian.  Nah, mungkin bapak bisa mencari calon istri dan menikah.  Kami bisa kok membantu bapak, atau mungkin bapak sudah punya calon sendiri?” Wiwid menghembuskan nafas begitu ia mampu menyelesaikan perkataannya.
            Tapi reaksi bapak membuat Wiwid terkejut.  Mulut bapak menganga, sebelum digantikan oleh tawa geli bapak yang sangat keras.  Wiwid menelengkan kepala.  Rupanya, ia mengharapkan reaksi yang salah dari bapak.  Namun begitu, tetap saja ia berharap cemas.  Siapa tahu, begitu usai tawa dan bapak menyadari maksud perkataannya, beliau akan marah dengan perkataan putrinya yang usil.
            “Hehehe, sedari tadi pagi, kamu mengikuti aku kemana pun pergi, ternyata hanya untuk bertanya tentang itu to?” bapak masih belum bisa berhenti tertawa yang membuat Wiwid jadi cemberut.
            “Bapak sih… kami kan bingung dengan sikap bapak akhir-akhir ini.  Itulah kenapa, tadi malam Bondan dan Dewi kemari.  Karena kami ingin berembuk, apa yang bisa kami lakukan untuk bapak.  Agar bapak ceria lagi, tidak ngendon di kamaaaar terus,” sungut Dewi merasa malu.
            “Ah, seharusnya bapak senang kalian sangat perhatian. Itu tandanya kalian sayang dan tidak merasa terbebani oleh kehadiran bapak yang sudah tua ini,”
            “Tentu saja kami sayang pada bapak.  Tinggal bapak kok orang tua yang kami miliki,”
            Bapak manggut-manggut.
            “Tapi boleh kan bapak geli mendengar usul kalian?  Hah, usul siapa itu sebenarnya?” sekarang bapak ganti mendelik, dan pura-pura marah.
            “Hmm, usulnya siapa ya? Kalau tidak salah sih usul Bondan,”
            “Hahaha… anak itu, mengapa kalian bisa berpikir begitu?”
            “Yah, kami kan takut, bapak malah jadi sakit kalau punya keinginan tapi dipendam dalam hati.  Tapi benar nih, bapak punya calon untuk dijadikan istri?” goda Wiwid dengan hati berdebar-debar.
            Ia masih tetap tak rela kalau bapak akan menikah lagi.  Rasanya itu menunjukkan ketaksetiaan bapak.  Meski ia tahu kalau pikiran itu tak rasional karena ibu kan sudah meninggal.  Jadi sah saja bila bapak ingin kembali berumah tangga. 
            “Wid, bapak itu sudah tidak tertarik lagi untuk mencari istri terus menikah lagi.  Umur bapak sudah tua.  Kalau orang lain ada yang menikah lagi pada usia yang sama dengan bapak, biar saja,”
            Ada kelegaan tersendiri menyelinap di lubuk hatinya.  Dan ia tahu rasa itu terlalu kekanak-kanakan. 
            “Terus, apa dong yang menjadi penyebab bapak berdiam diri?”
            “Kamu tuh ya, dari dulu selalu tidak mau berhenti bertanya, sebelum beroleh jawaban yang memuaskan,”
            “Wiwid penasaran sih,”
            Bapak malah terdiam. 
            “Baiklah, rasanya bapak tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini.  Sttt, tolong dengarkan cerita bapak,” Bapak menahan Wiwid yang ingin mendebatnya.
            “Dulu bapak bercita-cita ingin mengajak ibu menunaikan ibadah haji.  Namun ketika uang pensiun bapak keluar, ternyata tidak cukup untuk kami pergunakan berdua.  Itulah kenapa ibu menyarankan agar bapak sendiri yang berangkat.  Waktu itu bapak sebenarnya tidak setuju, tapi ibu memberi alasan yang masuk akal.  Ibu mulai merasa sakit pada tempurung lututnya dan tidak memungkinkan untuk berangkat haji.  Tapi, ternyata setahun setelah kepergian bapak ke tanah suci, Allah mengambil ibu dari sisi kita untuk selamanya.  Sejak itu bapak selalu memikirkan janji yang tak mampu bapak tepati,” Bapak menghela nafas pelan.  Seakan melepas beban yang selama ini disandangnya.
            Wiwid mengingat kenangan ibu yang terbaring sakit tak lama bapak pulang dari tanah suci.  Mereka bahu-membahu merawat ibu, mengantarkan fisioterapi yang serasa tak pernah usai.  Mengetahui rasa sakit yang dirasakan ibu selama beberapa waktu.  Ibu yang selalu mengajak jalan-jalan cucunya tiap sore menjelang.  Namun aktivitas itu terhenti kala penyakit  ibu semakin parah. 
            “Saat di depan jenazah ibu, Bapak tidak sadar kala dalam hati berjanji sekali lagi pada ibumu, kelak bapak akan mem-badalkan haji ibu bila dananya sudah terkumpul.  Saat ini bapak sudah memiliki uang untuk menghajikan ibumu, tapi ternyata daftar tunggu untuk pergi haji sangat panjang.  Bapak dengar sekarang ini orang mesti menunggu lima hingga tujuh tahun agar bisa berangkat haji begitu setoran minimal ONH sudah terbayar.  Bayangkan Wid, kalau sekarang bapak mendaftar, berapa usia bapak bila berangkat ke tanah suci kelak?”
            Wiwid menghitung dalam hati.  Ya, saat ini berangkat haji semakin panjang daftar tunggunya.  Di jaman perekonomian yang serba sulit, ternyata penduduk Indonesia masih banyak yang mampu menyisihkan uang guna pergi haji.
            “Kalau begitu bapak pergi haji menggunakan ONH-plus saja,  kan tidak perlu menunggu lama, cukup setahun lagi atau dua tahun.  Bagaimana pak?” usul Wiwid.  Ia yakin tak perlu meminta persetujuan suami dan saudaranya untuk menawarkan hal ini.
            “Uang bapak hanya cukup untuk biaya ONH biasa, nduk”
            “Tenang saja pak, nanti kami yang patungan untuk menutup kekurangannya.  Yang penting niat bapak baik.  Bapak juga tidak lagi kepikiran dengan janji pada ibu, betul kan?”
            “Mudah-mudahan niat baik kita dimudahkan jalannya oleh Allah ya,”
            “Amin,” Wiwid mengucap syukur beribu kali dalam hati.
            Ternyata ketakutannya tak beralasan.  Dugaan kami, anak dan menantu jauh sekali melenceng.  Wiwid tersenyum membayangkan komentar suami dan saudaranya nanti.  Ah, hari serasa bertambah cerah.  Ketika bapak berpamitan untuk beristirahat di kamar, dia dengan sukacita mengiyakan.  Kemudian tangan trampilnya mulai melanjutkan kegiatan memasak dengan penuh semangat.
             

  
           

           

7 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Hiks....jadi inget bapak yang sekarang sendirian di Purworejo sana. Bapak juga nggak mau menikah lagi setelah Ibu meninggal 7 tahun lalu. Syediiih..... :'(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duuh, maaaf mbak Ika. Aku nderek bela sungkawa buat ibu. Moga khusnul khotimah.

      Hapus
  3. Wah, baru tahu Bunda pinter nulis cerpen juga. Hayuk bikin novel sekalian Bunda ^_^

    BalasHapus
  4. Apik tenan, Mbak ^^

    Salam kenal. Saya Karunia Sylviany Sambas. Kita segrup di KMO 3B CLUB 7, Mbak. Ini baru nemu blog-nya, Mbak Wati :)

    BalasHapus