Inspirasi Tokoh Siti Nurbaya yang Menggadaikan Cinta Demi Hutang Keluarga - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Sabtu, 16 Juli 2016

Inspirasi Tokoh Siti Nurbaya yang Menggadaikan Cinta Demi Hutang Keluarga


www.hidayah-art.com


Assalamu'alaikum. Siapa yang belum pernah membaca karya sastra Kasih Tak Sampai? Enggak tahu dengan judul ini? Mungkin teman-teman lebih familiar dengan Siti Nurbaya. Iya, si gadis malang yang kasihnya tak sampai demi melunasi hutang keluarga. Kisahnya saya baca ketika masih jadi pelajar berseragam abu-abu. Dan kayaknya cocok nih diangkat menjadi satu artikel yang berjudul Inspirasi Tokoh Siti Nurbaya yang Menggadaikan Cinta Demi Hutang Keluarga.

Bagi pembaca yang tidak setuju dengan judul artikel ini, boleh aja memberikan komentar. Namun tetap dengan kalimat yang sopan.  Mungkin judul artikel mengandung konotasi yang kontradiktif dengan review karya sastra selama ini. Namun saya memang menuliskan dari sisi kisah ayahanda Siti Nurbaya yang terjerat hutang rentenir.


Baginda Sulaiman adalah pedagang yang sangat terkenal di kota Padang. Ayahanda Siti Nurbaya ini hanya hidup berdua dengan putrinya. Istrinya meninggal saat Siti Nurbaya masih kecil.

Usaha ayahandanya yang maju pesat, telah membuat murka Datuk Maringgih. Dia adalah rentenir tempat Baginda Sulaiman berhutang untuk modal usahanya. Dengan cara yang licik, Datuk Maringgih mulai mengganggu usaha ayahanda Siti Nurbaya. Kebakaran telah menghanguskan semua kios milik Baginda Sulaiman. Hingga ia jatuh miskin dan tak mampu membayar hutangnya. Harta bendanya pun ludes tak tersisa. termasuk rumah megah tempat Baginda Sulaiman dan Siti Nurbaya tinggal selama ini.

Photo koleksi Pixabay

Nah, kejatuhan usaha ayahnya memang rencana busuk sang Datuk. Ia memaksa Baginda Sulaiman agar segera melunasi hutangnya. Kalo tidak mampu,  Baginda Sulaiman mesti menyerahkan putrinya, Siti Nurbaya untuk melunasi hutangnya. 

Kisah selanjutnya pasti teman-teman sudah tahu kan?!

Dulu saat membaca novel sastra ini, kisahnya begitu membekas dalam hati. Apalagi saya tuh tergolong pembaca yang akan mengulang lagi membaca sebuah karya yang menarik jalan ceritanya. Banyak buku bagus yang saya baca hingga lebih dari lima kali. Kasih Tak Sampai adalah salah satu karya yang saya baca hingga 10 kali. Bisa teman-teman bayangkan, semua isi  buku itu sangat merasuki pikiran saya. 

Saya yang masih pelajar SMA, sampai mengutarakan ketidaksukaan pada rentenir. Sementara di tempat tinggal saya saat itu, tinggal beberapa tetangga yang perekonomian keluarganya disokong dari hasil rentenir. 

Mereka menghutangkan uang pada tetangga sendiri, dan juga penjual sayur di pasar. Kebetulan rumah saya dekat dengan pasar krempyeng. Pasar yang buka hanya pada pagi usai Shubuh hingga tengah hari.

Sejak membaca buku Kasih Tak Sampai, pandangan saya pada rentenir berubah drastis. Selama ini saya kurang begitu paham, kalo rentenir itu menjerat para penghutangnya dengan bunga yang sangat tinggi. Saya hanya tahu bahwa tetangga A baik banget memberi pinjaman pada tetangga B. 

Rupanya tidak demikian yang ada di balik pinjaman tersebut. Saya udah kayak detektif deh, nanya-nanya pada si korban sampai mendetil. Hingga ulah saya ini sampai ke telinga Bapak. 

"Kamu tuh kalo nanya-nanya soal pinjaman jangan pada semua orang. Mengganggu ketentraman lingkungan sini. Sudah, lebih baik diam. Kita nggak bisa menghapus kebiasaan buruk itu dalam waktu singkat,"

Semula saya sebal dengan saran Bapak. Masa sih Bapak yang selama ini mengajarkan saya tentang Amar Makruf Nahi Munkar, malah menyalahkan sikap dan perbuatan saya?

Namun ucapan Bapak berikutnya membuka pikiran saya.

"Caranya kalo kamu ingin mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging di lingkungan sini, dengan mengajarkan hidup hemat. Tidak perlu beli barang yang tidak dibutuhkan,"

Iya sih, kayaknya tetangga saya waktu itu pinjam uang juga untuk barang konsumtif. Barang yang tidak dibeli pun, dunia tidak bakal kiamat. Seperti panci besar, Sprei, setrika, dan lain-lain. 

Karena saat itu saya masih pelajar SMA, nggak mungkin juga ngajari orang tua agar tak berhutang. Saya pun menjadi provokator teman-teman main saya, agar meminta orang tua mereka tidak lagi membeli barang-barang yang memang tidak penting banget bagi rumah tangga mereka.

Apakah kebiasaan tersebut langsung hilang?

Enggak mungkin bisa hilang dalam waktu singkat. Saat orang tua pindah rumah pun, masih ada dua rentenir yang masih keliling kampung menawarkan duit pinjaman. Namun sudah 10 tahun ini tak lagi ditemukan rentenir di sana. Kayaknya sih karena yang seorang sudah meninggal. Sementara yang seorang lagi sakit dan tak ada anak keturunan mereka yang bersedia menggantikan profesinya.

Nah, kalo Baginda Sulaiman tak meminjam uang untuk modal pada rentenir, Siti Nurbaya pasti tak akan menikah dengan Datuk Maringgih. Yang bikin kekasih hatinya,  Samsul Bahri jadi patah hati berkepanjangan.

Tapiiii, kalo begitu kejadiannya, tentu saja nggak bakal ada kisah legendaris ini. Yah kan si penulis Marah Rusli mengisahkan ini agar pembaca tak sekedar terhibur dengan kisahnya. Namun bisa mengambil hikmah dari cerita yang terjadi. Cerita yang sangat tragis dan mengenaskan. 

Dan tentunya, Inspirasi Tokoh Siti Nurbaya yang Menggadaikan Cinta Demi Hutang Keluarga tak bakal ditulis di sini. Kalo teman-teman, apakah punya tokoh fiksi yang mampu menginspirasi? Yuk sharing di kolom komentar. Wassalamu'alaikum.

12 komentar:

  1. Jaman saya kecil, nonton sintronnya juga mba. Bener bener sedih ceritanya ya. Kalo ngga salah pemeran gusti randa sebagai samsul bahri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Yuni, apa kabar? Semoga sehat2 ya mbak, makasih udah mampir.

      Aku juga suka nonton sinetronnya. Jaman dulu masih banyak tontonan bagus di layar kaca ya :)

      Hapus
  2. Ironis sih mbak, kdg orang hutang jg utk kebutuhan hidup. Ibaratnya kepepet cm rentenir yg bs nolong. Krn blm tentu yg punya duit pun mau minjemin. Yg ptg ada solusi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, itu Dit, yang pinjam untuk makan sehari-hari. Berat pasti ya, hiks

      Hapus
  3. Semoga kita nggak terjebak hutang pada rentenir ya mbak Wati. Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan pemandangan 'bank titil' yang setiap hari nyamperin 'nasabah' buat nyicil pinjaman, termasuk ibu saya hehe. Kadang kita nggak punya pilihan lain pada situasi tertentu ya mbak, kuncinya mungkin harus hidup hemat dan tidak terlalu konsumtif :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin,mbak Anjar.

      Sama ya kita, sejak kecil melihat bank titil yang menjerat leher rakyat miskin

      Hapus
  4. Aku suka banget sama novel Siti Nurbaya. Kalau dulu teman-teman sekolah baca komik atau novel teenlit, aku justru senang baca sastra lama seperti si Siti Nurbaya ini.

    Semoga kita semua tidak ada yang terlilit hutang dengan rentenir ya.. Aamiin.

    www.talkativetya.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bacaan banyak remaja kala itu, nggak tahu anak-anak sekarang apa masih membaca ini untuk tugas sekolah ya.

      Aamiin, moga ya

      Hapus
  5. Saya baru tau kalo Siti nurbaya menggadaikan cinta gara2 utang. begitu toh awal mulanya

    Regards,
    www.travellingaddict.com

    BalasHapus
  6. Siti Nurbaya tahunya nonton di tv aja, kalau bacaannya blm pernah ;)

    BalasHapus
  7. Jadi kangen novia kolopaking ama gusti randa

    BalasHapus
  8. Nice post, asyik tulisannya, seperti dalam keadaan sebenarnya. Syukurlah sekarang sudah jarang ada tokoh siti nurbaya kedua :D

    BalasHapus