CERITA ANAK SMA 'jilid II' - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Minggu, 05 Agustus 2012

CERITA ANAK SMA 'jilid II'

Sekolah Umum ataukah Kejuruan?  Cetusan yang terlontar dari putra sulungku delapan tahun yang lalu masih terngiang di telingaku.  Saat itu, usianya masih 9 tahun.  Masih berujud anak ingusan yang menurutku, tentu jarang berpikir jauh ke depan.  Umumnya, anak usia 9 tahun, akan bercerita tentang game-game seru di komputer, atau bermain dengan teman sebayanya.  

Putra sulungku mungkin seorang pemikir.  Bahkan ia sudah mempersiapkan keinginan bersekolah di SMA atau SMK ketika masih anak-anak.

"Aku pengen sekolah di STM, boleh kan?" saat itu SMK masih bernama STM.
Aku tertegun.  Saat itu Milzam sedang bermain dengan adiknya, Naufal yang berusia 4 tahun.  Dan, aku mengawasi nyambi baca majalah.
"STM, kenapa mas?"aku selalu memanggil sapaan 'mas' pada si sulung, tentu saja untuk membiasakan sang adik.
"Suka aja,"jawab si sulung asal.

Terus terang aku tak menanggapi serius celetukannya kala itu.  Hingga beberapa bulan kemudian, ia ungkapkan kembali keinginannya itu.

"Kamu kan masih kelas 4.  Bisa saja keinginan sekolah di kejuruan akan berubah kelak,"
Milzam hanya tertawa mendengar jawabanku.

Beberapa tahun kemudian.  Milzam yang naik ke kelas VIII di SMP IT PAPB dengan nilai cukup memuaskan.  Aku penasaran dengan cita-cita saat usianya masih 9 tahun, dan mempertanyakannya kembali.
"Sudah tahu, ntar kalo lulus mau sekolah di mana?"
Si sulung terdiam.  Aku menanti jawabannya.  Menurutku, ia lupa dengan impiannya kala itu.  Tapi jawaban yang terlontar dari mulutnya, membuatku tertegun.
"PAsti ibu kira aku lupa kan dengan niatku ketika masih SD? Tentu saja aku akan sekolah di kejuruan,"

Aku menimbang dan berpikir.  Banyak yang menjadi pertimbanganku.  Pikiran resah berkumpul di otakku.  Sebagai seorang ibu, seperti kebanyakan ibu-ibu lain, aku memiliki tingkat kecemasan yang tinggi bila mendengar cerita tentang sekolah kejuruan, terutama STM.  Sekolah yang sangat terkenal suka tawuran.  Entah apa sebenarnya pemicu tawuran itu, yang jelas, aku sangat tidak setuju bila putraku memilih sekolah ini sebagai pendidikan di jenjang berikutnya usai lulus SMP.

KOMPROMI  Yang Memuaskan

Aku bersama suami cukup seru berdiskusi tentang sekolah kejuruan.  Kami, sama-sama bersekolah di SMA, meski beda sekolah.  Dan, kami tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang sekolah ini.  Dari diskusi ini, aku coba bertanya pada sepupu yang bersekolah di kejuruan.
"Yah...memang sih, STM identik dengan tawuran.  Tapi, kan tidak semua muridnya suka tawuran..."
Waaah...sebuah jawaban yang tidak memuaskanku.

Rupanya suami pun juga mencari informasi pada beberapa teman serta tetangga.  Mereka kebanyakan menyayangkan bila putra kami memilih sekolah ini.
"Lho, emang begitu lulus, si anak mau disuruh kerja ya?"
atau, "Milzam kan nilainya bagus, napa nggak sekolah di SMA  favorit aja?"

Tapi, ada tetangga yang menjadi guru di sebuah SMK negeri di kota kami, mampu memberikan pencerahan.  Beliau memberikan sisi positif dan negatif sekolah di SMK.

Akhirnya sebagai jalan terakhir, memang harus kami bertiga yang memutuskan, sekolah di manakah si sulung kelak.  Aku dan suami tak pernah otoriter bila menyangkut pilihan sekolah putra kami.  Apalagi sekolah setingkat lanjutan atas, harus dipilih atas dasar kebutuhan dan kemampuan serta minat seorang anak.  Mengingat keinginan kuat putra kami sejak kecil, kami memutuskan untuk mengikuti niat Milzam.  Tentu saja ada persyaratan khusus yang kami pinta.

"Ok... ibu dan bapak setuju dengan pilihan sekolah di STM.  Tapi, kami ingin, kamu harus memilih sekolah dan jurusan yang benar-benar kamu suka.  Jadi, tak ada alasan pindah jurusan apalagi pindah sekolah,"
Milzam tertawa mendengar keputusan kami.  Entah, apakah kelak akan berubah lagi keinginannya.  Tapi, malam itu matanya berbinar.

"Eiiits...jangan senang dulu, mas.... Mulai sekarang, belajar yang lebih tekun.  Kalau ingin sekolah di kejuruan, pilih sekolah yang paling favorit di kota Semarang," tegurku.
"Di mana?"
"Tentu saja di STM Pembangunan.  Sekolah ini tak pernah ikut tawuran, karena kalo ada muridnya yang terlibat tawuran, pasti langsung dikeluarkan dari sekolah.  Tapi masuk sekolah ini juga sulit.  Saringannya ketat dan hanya anak pintar, disiplin serta berkemauan keras yang bisa lolos dan lulus bersekolah di sana,"

Milzam manggut-manggut.  Si adik tertawa mendengar penjelasan kami.  Kami memang tak main-main saat memilih sekolah.  Terbukti, niat awal menyekolahkan putra kami di SMP islam terpadu adalah, agar putra kami memiliki pengetahuan agama islam yang memadai.  Karena kesibukan kami, tentu saja sekolah yang dimulai pembelajarannya dari jam 6.45 hingga 15.30 adalah pilihan yang tepat.

Dan, niat baik terbukti menuai kebaikan pula.  Si sulung yang tak pernah masuk rangking 10 besar di SD, begitu menempuh pendidikan di SMP ini, mengalami kemajuan.  Nilainya meroket sejak dari semester awal.  Hingga, puncaknya adalah menjadi lulusan dengan NEM tertinggi di sekolah dan nomor dua se kecamatan.  Tentu ini buah dari ketekunan, ibadah shalat sunnah dan puasa sunnah yang dijalaninya.  Kami, kedua orang tuanya, hanya mendorong dengan kalimat baik, doa dan perhatian yang konsisten.

Cita-citanya ketika masih kanak-kanak telah didengar oleh Allah Swt.  Saat ini pada tahun ketiga di SMK 7 Semarang, atau lebih dikenal dengan nama STEMBA, STM Pembangunan, ia begitu larut dengan setiap kegiatan di sekolah.  Tidak cuma aktif belajar di kelas jurusan TKJ.  Seperti ibunya, ia pun aktif di PMR.  Pernah menjadi moderator lomba debat berbahasa inggris tingkat SMA & SMK Jawa Tengah di sekolahnya.  Mewakili sekolah dalam lomba membuat Web Design.  Bersama teman-temannya, mewakili sekolah dalam berbagai lomba PMR.



Masih setahun lagi pembelajaran di sekolah ini.  Kemudian dilanjutkan dengan tahun keempat magang di sebuah perusahaan.  Kalaupun niat yang terpatri di benaknya, langsung bekerja, kami pun hanya mampu mengiyakannya.  Meski bertolak belakang dengan keinginan kami, orang tuanya yang mengharapkan dirinya melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.  Apapun, kami berharap waktu bisa merubah niat yang begitu kokoh ada di hatinya.

SMA atau SMK, semua tergantung dengan pilihan seseorang.  Yang penting, apapun pilihanmu, bertanggung jawablah dengan setiap langkah yang kau jalani.


Tidak ada komentar: