Hobi Masak dan Berkebun, Bisa Menjadi Penghasilan Tambahan Keluarga
Assalamualaik num Sahabat. Kalo ada yang nanya saya punya hobi apa, jawaban saya otomatis adalah baca buku, dolan, dan tidur. Dolannya nggak usah jauh-jauh sampai keluar negeri. Suami kalo ngajak dolan ke Bandungan atau Kopeng aja, saya langsung siap-siap bawa minum dan cemilan yang ada di rumah. Semangat banget yak, hahahaa.
Bandungan dan Kopeng adalah kawasan wisata yang paling dekat dengan Kota Semarang. Dan suami saya sukanya dadakan kalo ngajak ke dua kawasan ini. Udah kayak tahu bulat gitu, wkwkwkk.
Namun begitu udah punya keluarga, hobi saya nambah lagi yaitu berkebun dan masak. Dua kegiatan baru ini ada alasannya sehingga masuk dalam daftar hobi saya.
Saya ulas satu persatu, berurutan dari masak dulu ya.
Bener dong, begitu menikah saya punya hobi baru masak. Karena saya percaya dengan pepatah, cinta itu bisa datang dari perut naik ke hati. Eh salah ya? Ah entah lah yang benar gimana. Yang pasti ketika saya belajar masak di dapur untuk menyenangkan hati suami, ternyata sukses bikin si dia krasan makan di rumah.
Terlebih jaman awal nikah, saya langsung diajak menempati rumah yang sudah dimiliki suami sejak masih lajang. Waktu itu kawasan Pedurungan Kidul masih sepi. Kompleks perumahan pun kalo jam 19.00 udah sepi kayak di kuburan.
Penjual keliling pun jarang banget masuk kompleks perumahan. Karena portal di salah satu ujung jalan ditutup kalo udah malam.
Mau nggak mau saya belajar masak meski kalo pagi kayak ada perang barathayuda di dapur. Waktu itu saya masih kerja ikut orang, jam 8 pagi sudah harus masuk kantor. Bisa dong membayangkan gimana rempongnya saya kalo pagi, layaknya ibu kantoran gitu.
Jadwal saya tiap pagi (saat itu) adalah, sebelum Shubuh saya udah menyiapkan MPASI si sulung. Saya masukkan ke dalam dandang (untuk masak nasi) karena waktu itu belum ada majig com, wkwkkwk..ketahuan banget tahun berapa ya usia saya.
Setelah shalat Shubuh, saya mulai meracik bahan masakan. Saya bersyukur mendapatkan suami yang mau bantu urusan rumah meski ada ART juga sih. Tapi ART tuh kalo pagi ngurusi pekerjaan rumah seperti nyuci dan bersih-bersih seluruh rumah. Maksudnya adalah ketika saya sudah selesai masak, mandi, nyuapin anak, dan ganti baju kantor, dia pun udah selesai juga melakukan pekerjaan rumah.
Jadi ketika ART dan saya sibuk kerja, suami pun sibuk mengasuh si sulung yang masih berusia 8 bulanan. Begitu masakan di dapur untuk sarapan orang serumah dan MPASI udah siap, saya mandi. Kemudian baru nyuapin si sulung dengan MPASI olahan dapur rumah sendiri.
Oiya alasan suka masak menjadi hobi baru juga karena si sulung ini ketika mulai belajar jalan, mulai susah makan pula.
Nah saya pun mulai beli buku resep (belum ada internet yaa), majalah khusus resep, apa aja deh, dari jajanan, kue, sampai masakan. Saya nyoba bikin kroket, risoles, serabi, kue lumpur, bolu, roti manis, bakpau, hingga galantin.
Semua itu saya lakukan agar si sulung mengenal segala rasa masakan juga bahan makanan. Saya seperti si sulung, belajar mengenali masakan atau jajanan apa aja yang dia suka. Jadi ketika si sulung doyan makan nagasari, ya saya buatkan nagasari. Begitu pula ketika saya pertama kali membuat kroket dan dia menyukainya, saya pun sering membuatnya.
Sampai suatu hari ketika anak-anak udah besar, si sulung berusia 9 tahun, dan adiknya masih 4 tahun, terbersit niat bikin jajanan yang bisa dijual.
Setelah dipikir dan ditimbang, saya memilih lunpia, pisang karamel, dan galantin untuk dijual. Hari pertama saya bikin lunpia dan pisang karamel sebanyak 100 buah. Saya sengaja nitip jual di beberapa warung dan toko di sepanjang jalan yang saya lewati ketika berangkat kerja. Jadi satu dayung lima tempat saya dapatkan, hehee.
Alhamdulillah, penjualan pertama langsung ludes. Senang kah saya? Tentu saja senang, tapi saya tidak mau terlena. Jualan pertama laris itu belum menunjukkan kalo jajanan saya enak dan disukai pembeli. Tes pertama justru hari kedua, apakah jajanan yang saya titipkan bakal laris seperti hari pertama?
Ah ternyata masih sisa, meski hanya 1 dan dari lima toko itu, cuma kembali totalnya ada 3 lunpia dan 1 pisang karamel. Saya bersyukur dan pengalaman ini menambah semangat saya untuk bikin lebih banyak sesuai permintaan ibu pemilik toko.
Namun ternyata saya agak kelimpungan dengan kegiatan baru ini. Pagi ngurusi masakan untuk keluarga, masak untuk jualan, ngurus anak-anak yang mau sekolah, dan masih harus prepare ke kantor. Saya kayak kelebihan energi saat itu, maklum ya usia masih di bawah 40 tahun. Merasa muda dan kuat melakukan segala pekerjaan yang saya anggap mampu.
"Bu Sugeng tuh kayak orang kurang duit, masih jualan meski udah kerja kantor,"
Begitu salah satu tanggapan tetangga saya saat tahu kegiatan pagi di rumah. Suatu hari mereka ke rumah dan melihat saya tengah menggoreng lunpia dan pisang karamel. Sementara masakan untuk keluarga udah tersaji di meja makan.
Saya memang ingin usaha di rumah suatu hari nanti, itu pikiran yang terbersit di benak ketika memilih jalur jualan makanan.
Namun ternyata saya akhirnya menyerah dan memilih sebagai pekerja kantor. Jualan jajanan saya hentikan karena kelelahan, saya makin kemrungsung. Eh apa sih namanya, kayak kejar setoran gitu deh, hahahaa.
Yang pasti waktu santai di pagi hari udah nggak ada. Dan saya sempat diprotes anak-anak karena malam sebelumnya selalu sibuk menyiapkan lunpia, menggulungnya dan menyimpang di kulkas untuk digoreng pagi harinya.
Kebiasaan saya sejak anak-anak masih kecil memang membacakan buku atau mendongeng sebelum tidur. Ketika saya selesai prepare lunpia, anak-anak udah ngantuk. Atau saya yang ngantuk, hehee.
Akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan jualan lunpia dan pisang karamel. Sementara galantin masih bisa saya kerjakan karena lebih praktis. Galantin bisa disiapkan dua hari sekali, sementara kuahnya dimasak tiap pagi.
Sebenarnya pemilik warung dan toko tempat saya menitipkan jajanan protes, mengapa saya hentikan jualan lunpia dan pisang karamel.
Kalo dipikir lagi, mengapa dulu saya tidak memilih berhenti kerja dan fokus aja ngurus jualan ya? Hehehe, saya hanya melihat semua itu udah keputusan yang enggak boleh disesali.
Saya mulai suka menanam sejak masih lajang, ikut bantuin bapak yang senang berkebun. Rumah kami kecil, tapi asri dengan pohon mangga manalagi dan arumanis. Belum lagi ada tanaman pare, timun, anggur, dan beragam tanaman bunga. Saya suka melihat hijau dedaunan, bikin adem yang melihat gitu.
Apalagi saya adalah anak kota yang rindu dengan aorma hutan dan sawah yang hijau menghampar. Saya sejak kecil udah suka ngikut tetangga yang pulang kampung di daerah Klaten. Alasannya karena saya nggak punya desa.
Kecintaan pada desa yang masih asri, bikin saya pun menyukai kegiatan berkebun. Saya suka bila halaman rumah yang kecil terlihat cantik dengan tanaman daun atau bunga. Jadi saya mulai membeli beragam tanaman. Dari tanaman buah, daun, hingga bunga.
Dari awal saya memahami dan belajar sifat masing-masing tanaman. Ada teman belajar merawat tanaman, dari teman kantor, tetangga, hingga akhirnya mengantarkan saya pada tukang kebun yang juga berjualan tanaman.
Saya mulai pintar menyetek tanaman, memisahkan anakan, menyemai biji dari anthurium hingga mengawinkan serbuk bunga adenium. Suami dan anak-anak mendukung kegiatan ini. Karena ketika saya udah asik merawat tanaman, bisa seharian tuh di kebun. Dan hanya ngaso ketika waktu shalat atau makan aja. Saya bahkan bawa bekal minum air putih ketika sedang berkebun. Padahal kebunnya juga letaknya di belakang rumah, hahahaa.
Bagian belakang rumah saya pasang paranet karena tanaman yang ada di sana tidak tahan dengan sinar matahari. Jenis tanaman yang beragam seperti anggrek segala jenis, anthurium, aglaonema, bromelia, menjadi koleksi di kebun mungil ukuran 5x10 meter.
Ternyat suatu hari tetangga yang berjualan tanaman ingin membeli salah satu tanaman agalonema yang masih anakan.
"Ayo dijual aja, jangan dibagikan terus,"
"Ah nggak enak, masa sih jual tanaman,"
"Lah saya jual tanaman untuk hidup, Bu,"
"Ya situ kan memang penjual tanaman, saya kan kolektor,"
Setelah berdebat dan tetangga pintar banget merayu, akhirnya saya luluh melepas anakan aglaonema. Alasan tetangga yang bikin saya luluh adalah, uang hasil penjualan tanaman bisa digunakan untuk membeli kompos, pot, dan kebutuhan kebun saya. Bukan kah ini yang namanya hobi yang menghasilkan ya?
Hmmm, bener juga ya?!
Karena selama ini ketika ada teman, tetangga, atau kerabat yang datang ke rumah dan minta tanaman, mereka selalu minta komplit dari pot, tanah kompos hingga tanamannya. Ya iya lah, masa mau dibedol tanamannya? Hahahaa.
Kata tetangga lagi, itu artinya saya akan selalu keluar duit dari kantong sendiri. Misalkan saya mau menjual beberapa tanaman koleksi yang sama, ada pemasukan untuk membeli kebutuhan kebun. Dan yang paling asik adalah saya bisa juga membeli tanaman baru yang belum saya miliki.
Waktu itu mulai banyak yang menyukai tanaman anthurium, aglaonema, anggrek dendro dan bulan, serta adenium. Saya termasuk sukses menyemai benih bunga anthurium. Dari satu bonggol, bisa menjadi anakan berjumlah sampai seratus lebih.
Suatu ketika anakan anthurium yang ukuran 30 centimeter, diminati pedagang tanaman hias yang tengah pameran di Taman KB (sekarang menjadi Taman Indonesia Kaya). Waktu itu saya punya anakan ukuran 30 cm sebanyak 40 pot. Dan semuanya diambil oleh bapak Adi (nama samaran) dengan dibayar tunai. Betapa girangnya saya karena menerima total pembayaran sebesar 1.300.000 rupiah. Itu adalah pembayaran dari anakan ukuran 30 dan ukuran 60 cm sebanyak masing-masing 40 dan 10 pot.
Anakan gelombang cinta ukuran sedang yang di gambar itu posisi di bawah, harganya (2006/2007) 35 ribu. Sementara yang ukuran agak besar, di atas gelombang cinta ukuran kecil. laku dengan harga 100 ribu.
Setelah itu kayak ada promo dari mulut ke mulut, mendadak ada orang yang saya tidak kenal mendatangi rumah saya. Hampir tiap hari ada aja orang yang membeli tanaman anthurium dan aglaonema. Saya aja bingung mereka dari mana tahu tentang domisili dan koleksi tanaman di rumah. Saya nggak penah curiga dan langsung aja membukakan pintu menuju halaman belakang. Karena mereka memang ingin memilih sendiri tanaman yang akan dibeli.
Hingga suatu hari ada dua orang yang ngakunya kolektor ingin membeli indukan anthurium gelombang cinta milik saya yang ukuran daunnya udah mencapai 1 meter lebih dikit. Mereka nanya harga indukan gelombang cinta tersebut.
Saya bengong dong. Karena indukan itu yang menghasilkan ratusan anakan yang sebagian besar udah saya jual dan duitnya membantu keuangan keluarga.
Orang itu besoknya datang lagi. Namun sebelumnya saya udah mendapat bisikan dari teman sesama kolektor kalo tanaman saya bisa dihargai sebesar 20 juta rupiah. Saya juga udah diskusi dengan suami, gimana enaknya apakah dilepas atau dijadikan indukan. Suami menyerahkan keputusan di tangan saya. Karena memang saya membeli indukan itu ketika ukurannya masih kecil, sekitar 10 cm dan saya merawatnya hingga besar selama 3 tahunan.
Aslinya sih saya enggak rela melepas indukan tersebut. Dari kecil saya rawat hingga menjadi besar dan bisa menghasilkan anakan sampai lebih dari 700 anakan. Namun saya pernah kelepasan bicara dengan si sulung yang mau masuk SMP. Bahwa saya kalo dapat rejeki dari tanaman, akan membelikannya PC set dengan printer.
Akhirnya dengan pertimbangan janji pada si sulung, dan harga yang udah cocok sejumlah 15 juta rupiah, saya pun melepas indukan dengan hati lara.
Pagi hari Minggu, saya terduduk di teras menatap indukan yang diangkat ke atas mobil pickup. Hati saya seperti melepas anak yang akan diasuh orang lain.
Pasti ada yang bertanya ya, kok bisa tanaman anthurium gelombang cinta dihargai sebesar itu? Iya, saat itu memang booming anthurium dan banyak orang jadi gila dengan membelanjakan uang pada barang yang tak masuk akal nilainya. Namun tanaman yang mendapat harga fantastis itu adalah yang berkualitas. Daunnya keriting, kulit daun tebal, sehat, tidak ada luka gesekan daun, warna hijau sehat, dan tumbuh kompak daunnya. Tanaman indukan saya yang terjual memenuhi kriteria itu.
Kabar yang beredar, tanaman indukan saya yang udah terjual itu, dibeli orang dari Jakarta seharga 25 juta. Gilak yaa. Saya aja sampe ngakak loh mendengar kabar itu. Dan booming harga fantastis itu hanya beberapa bulan aja kayaknya.
Saya sendiri masih sibuk ngurus tanaman seperti biasanya. Namun kabar saya menjual tanaman seharga 15 juta menjadi gosip orang sekompleks bahkan sampai ke kelurahan, hahaa. Kebetulan rumah saya yang pertama ini memang dekat dengan kantor kelurahan. Ada pegawai nya yang pernah saya kasih anakan anthurium ini.
Hobi yang menyenangkan ini bikin saya jadi punya kegiatan tiap hari. Tubuh jadi sehat karena pagi-pagi udah ngurus tanaman. Pulang kerja juga yang dicari dan ditengok tanaman dulu. Anak-anak udah agak besar sih dan mereka pun kayak asisten saya, membantu ikut menyiram dan mengangkat pot-pot tanaman yang kecil yang bisa mereka pindahkan ke tempat sesuai keinginan saya.
Ahhh saya jadi bernostalgia menuliskan pengalaman saya saat berjualan makanan atau merawat tanaman. Tema arisan blogger Gandjel Rel ini memang unik. Saya senang bisa menuturkan kisah ini, sesuai permintaan pemenang arisan periode 3 yaitu mba Ika Puspita dan Novia Domi.
Bagaimana pun hobi yang menghasilkan bakal bikin hati bahagia. Cukup lah merawat hobi dengan jujur, ikhlas, dan berbaik sangka, insyaAllah pasti ada berkah di dalamnya. Saat ini di rumah saya memang tak lagi merawat tanaman seperti di rumah lama.
Namun tanaman yang sekarang pun semoga juga membawa berkah. Ada tanaman cabe, jeruk nipis, jeruk limau, jerut purut, belimbing wuluh, sirsak, yang hasilnya juga dinikmati oleh tetangga.
Ahh tak terasa panjang juga curhat saya tentang hobi. Saya jadi penasaran pengen nanya, sahabat punya hobi apa aja? Sharing yuk, wassalamualaikum.
Saya ulas satu persatu, berurutan dari masak dulu ya.
- Hobi Masak
Hobi kok masuk dapur, masak... beneran ini?Bener dong, begitu menikah saya punya hobi baru masak. Karena saya percaya dengan pepatah, cinta itu bisa datang dari perut naik ke hati. Eh salah ya? Ah entah lah yang benar gimana. Yang pasti ketika saya belajar masak di dapur untuk menyenangkan hati suami, ternyata sukses bikin si dia krasan makan di rumah.
Terlebih jaman awal nikah, saya langsung diajak menempati rumah yang sudah dimiliki suami sejak masih lajang. Waktu itu kawasan Pedurungan Kidul masih sepi. Kompleks perumahan pun kalo jam 19.00 udah sepi kayak di kuburan.
Penjual keliling pun jarang banget masuk kompleks perumahan. Karena portal di salah satu ujung jalan ditutup kalo udah malam.
Mau nggak mau saya belajar masak meski kalo pagi kayak ada perang barathayuda di dapur. Waktu itu saya masih kerja ikut orang, jam 8 pagi sudah harus masuk kantor. Bisa dong membayangkan gimana rempongnya saya kalo pagi, layaknya ibu kantoran gitu.
Jadwal saya tiap pagi (saat itu) adalah, sebelum Shubuh saya udah menyiapkan MPASI si sulung. Saya masukkan ke dalam dandang (untuk masak nasi) karena waktu itu belum ada majig com, wkwkkwk..ketahuan banget tahun berapa ya usia saya.
Setelah shalat Shubuh, saya mulai meracik bahan masakan. Saya bersyukur mendapatkan suami yang mau bantu urusan rumah meski ada ART juga sih. Tapi ART tuh kalo pagi ngurusi pekerjaan rumah seperti nyuci dan bersih-bersih seluruh rumah. Maksudnya adalah ketika saya sudah selesai masak, mandi, nyuapin anak, dan ganti baju kantor, dia pun udah selesai juga melakukan pekerjaan rumah.
Jadi ketika ART dan saya sibuk kerja, suami pun sibuk mengasuh si sulung yang masih berusia 8 bulanan. Begitu masakan di dapur untuk sarapan orang serumah dan MPASI udah siap, saya mandi. Kemudian baru nyuapin si sulung dengan MPASI olahan dapur rumah sendiri.
Oiya alasan suka masak menjadi hobi baru juga karena si sulung ini ketika mulai belajar jalan, mulai susah makan pula.
Nah saya pun mulai beli buku resep (belum ada internet yaa), majalah khusus resep, apa aja deh, dari jajanan, kue, sampai masakan. Saya nyoba bikin kroket, risoles, serabi, kue lumpur, bolu, roti manis, bakpau, hingga galantin.
Semua itu saya lakukan agar si sulung mengenal segala rasa masakan juga bahan makanan. Saya seperti si sulung, belajar mengenali masakan atau jajanan apa aja yang dia suka. Jadi ketika si sulung doyan makan nagasari, ya saya buatkan nagasari. Begitu pula ketika saya pertama kali membuat kroket dan dia menyukainya, saya pun sering membuatnya.
Sampai suatu hari ketika anak-anak udah besar, si sulung berusia 9 tahun, dan adiknya masih 4 tahun, terbersit niat bikin jajanan yang bisa dijual.
Setelah dipikir dan ditimbang, saya memilih lunpia, pisang karamel, dan galantin untuk dijual. Hari pertama saya bikin lunpia dan pisang karamel sebanyak 100 buah. Saya sengaja nitip jual di beberapa warung dan toko di sepanjang jalan yang saya lewati ketika berangkat kerja. Jadi satu dayung lima tempat saya dapatkan, hehee.
Alhamdulillah, penjualan pertama langsung ludes. Senang kah saya? Tentu saja senang, tapi saya tidak mau terlena. Jualan pertama laris itu belum menunjukkan kalo jajanan saya enak dan disukai pembeli. Tes pertama justru hari kedua, apakah jajanan yang saya titipkan bakal laris seperti hari pertama?
Ah ternyata masih sisa, meski hanya 1 dan dari lima toko itu, cuma kembali totalnya ada 3 lunpia dan 1 pisang karamel. Saya bersyukur dan pengalaman ini menambah semangat saya untuk bikin lebih banyak sesuai permintaan ibu pemilik toko.
Namun ternyata saya agak kelimpungan dengan kegiatan baru ini. Pagi ngurusi masakan untuk keluarga, masak untuk jualan, ngurus anak-anak yang mau sekolah, dan masih harus prepare ke kantor. Saya kayak kelebihan energi saat itu, maklum ya usia masih di bawah 40 tahun. Merasa muda dan kuat melakukan segala pekerjaan yang saya anggap mampu.
"Bu Sugeng tuh kayak orang kurang duit, masih jualan meski udah kerja kantor,"
Begitu salah satu tanggapan tetangga saya saat tahu kegiatan pagi di rumah. Suatu hari mereka ke rumah dan melihat saya tengah menggoreng lunpia dan pisang karamel. Sementara masakan untuk keluarga udah tersaji di meja makan.
Saya memang ingin usaha di rumah suatu hari nanti, itu pikiran yang terbersit di benak ketika memilih jalur jualan makanan.
Namun ternyata saya akhirnya menyerah dan memilih sebagai pekerja kantor. Jualan jajanan saya hentikan karena kelelahan, saya makin kemrungsung. Eh apa sih namanya, kayak kejar setoran gitu deh, hahahaa.
Yang pasti waktu santai di pagi hari udah nggak ada. Dan saya sempat diprotes anak-anak karena malam sebelumnya selalu sibuk menyiapkan lunpia, menggulungnya dan menyimpang di kulkas untuk digoreng pagi harinya.
Kebiasaan saya sejak anak-anak masih kecil memang membacakan buku atau mendongeng sebelum tidur. Ketika saya selesai prepare lunpia, anak-anak udah ngantuk. Atau saya yang ngantuk, hehee.
Akhirnya saya memutuskan untuk menghentikan jualan lunpia dan pisang karamel. Sementara galantin masih bisa saya kerjakan karena lebih praktis. Galantin bisa disiapkan dua hari sekali, sementara kuahnya dimasak tiap pagi.
Sebenarnya pemilik warung dan toko tempat saya menitipkan jajanan protes, mengapa saya hentikan jualan lunpia dan pisang karamel.
Kalo dipikir lagi, mengapa dulu saya tidak memilih berhenti kerja dan fokus aja ngurus jualan ya? Hehehe, saya hanya melihat semua itu udah keputusan yang enggak boleh disesali.
- Hobi Berkebun
Nah, untuk hobi yang berikutnya yaitu ngurus kebun, karena rumah saya itu memiliki halaman yang cukup luas. Tanah seluas 200 meter persegi hanya dijadikan bangunan rumah seluas 115 meter persegi. Jadi masih ada sisa tanah yang lumayan kan?!Saya mulai suka menanam sejak masih lajang, ikut bantuin bapak yang senang berkebun. Rumah kami kecil, tapi asri dengan pohon mangga manalagi dan arumanis. Belum lagi ada tanaman pare, timun, anggur, dan beragam tanaman bunga. Saya suka melihat hijau dedaunan, bikin adem yang melihat gitu.
Apalagi saya adalah anak kota yang rindu dengan aorma hutan dan sawah yang hijau menghampar. Saya sejak kecil udah suka ngikut tetangga yang pulang kampung di daerah Klaten. Alasannya karena saya nggak punya desa.
Kecintaan pada desa yang masih asri, bikin saya pun menyukai kegiatan berkebun. Saya suka bila halaman rumah yang kecil terlihat cantik dengan tanaman daun atau bunga. Jadi saya mulai membeli beragam tanaman. Dari tanaman buah, daun, hingga bunga.
Dari awal saya memahami dan belajar sifat masing-masing tanaman. Ada teman belajar merawat tanaman, dari teman kantor, tetangga, hingga akhirnya mengantarkan saya pada tukang kebun yang juga berjualan tanaman.
Saya mulai pintar menyetek tanaman, memisahkan anakan, menyemai biji dari anthurium hingga mengawinkan serbuk bunga adenium. Suami dan anak-anak mendukung kegiatan ini. Karena ketika saya udah asik merawat tanaman, bisa seharian tuh di kebun. Dan hanya ngaso ketika waktu shalat atau makan aja. Saya bahkan bawa bekal minum air putih ketika sedang berkebun. Padahal kebunnya juga letaknya di belakang rumah, hahahaa.
Bagian belakang rumah saya pasang paranet karena tanaman yang ada di sana tidak tahan dengan sinar matahari. Jenis tanaman yang beragam seperti anggrek segala jenis, anthurium, aglaonema, bromelia, menjadi koleksi di kebun mungil ukuran 5x10 meter.
Ternyat suatu hari tetangga yang berjualan tanaman ingin membeli salah satu tanaman agalonema yang masih anakan.
"Ayo dijual aja, jangan dibagikan terus,"
"Ah nggak enak, masa sih jual tanaman,"
"Lah saya jual tanaman untuk hidup, Bu,"
"Ya situ kan memang penjual tanaman, saya kan kolektor,"
Setelah berdebat dan tetangga pintar banget merayu, akhirnya saya luluh melepas anakan aglaonema. Alasan tetangga yang bikin saya luluh adalah, uang hasil penjualan tanaman bisa digunakan untuk membeli kompos, pot, dan kebutuhan kebun saya. Bukan kah ini yang namanya hobi yang menghasilkan ya?
Hmmm, bener juga ya?!
Karena selama ini ketika ada teman, tetangga, atau kerabat yang datang ke rumah dan minta tanaman, mereka selalu minta komplit dari pot, tanah kompos hingga tanamannya. Ya iya lah, masa mau dibedol tanamannya? Hahahaa.
Kata tetangga lagi, itu artinya saya akan selalu keluar duit dari kantong sendiri. Misalkan saya mau menjual beberapa tanaman koleksi yang sama, ada pemasukan untuk membeli kebutuhan kebun. Dan yang paling asik adalah saya bisa juga membeli tanaman baru yang belum saya miliki.
Waktu itu mulai banyak yang menyukai tanaman anthurium, aglaonema, anggrek dendro dan bulan, serta adenium. Saya termasuk sukses menyemai benih bunga anthurium. Dari satu bonggol, bisa menjadi anakan berjumlah sampai seratus lebih.
Bonggol bunga anthurium gelombang cinta yang bisa diambil dan disemai |
Suatu ketika anakan anthurium yang ukuran 30 centimeter, diminati pedagang tanaman hias yang tengah pameran di Taman KB (sekarang menjadi Taman Indonesia Kaya). Waktu itu saya punya anakan ukuran 30 cm sebanyak 40 pot. Dan semuanya diambil oleh bapak Adi (nama samaran) dengan dibayar tunai. Betapa girangnya saya karena menerima total pembayaran sebesar 1.300.000 rupiah. Itu adalah pembayaran dari anakan ukuran 30 dan ukuran 60 cm sebanyak masing-masing 40 dan 10 pot.
Pict. Flona anakan gelombang cinta |
Setelah itu kayak ada promo dari mulut ke mulut, mendadak ada orang yang saya tidak kenal mendatangi rumah saya. Hampir tiap hari ada aja orang yang membeli tanaman anthurium dan aglaonema. Saya aja bingung mereka dari mana tahu tentang domisili dan koleksi tanaman di rumah. Saya nggak penah curiga dan langsung aja membukakan pintu menuju halaman belakang. Karena mereka memang ingin memilih sendiri tanaman yang akan dibeli.
Hingga suatu hari ada dua orang yang ngakunya kolektor ingin membeli indukan anthurium gelombang cinta milik saya yang ukuran daunnya udah mencapai 1 meter lebih dikit. Mereka nanya harga indukan gelombang cinta tersebut.
Saya bengong dong. Karena indukan itu yang menghasilkan ratusan anakan yang sebagian besar udah saya jual dan duitnya membantu keuangan keluarga.
Orang itu besoknya datang lagi. Namun sebelumnya saya udah mendapat bisikan dari teman sesama kolektor kalo tanaman saya bisa dihargai sebesar 20 juta rupiah. Saya juga udah diskusi dengan suami, gimana enaknya apakah dilepas atau dijadikan indukan. Suami menyerahkan keputusan di tangan saya. Karena memang saya membeli indukan itu ketika ukurannya masih kecil, sekitar 10 cm dan saya merawatnya hingga besar selama 3 tahunan.
Aslinya sih saya enggak rela melepas indukan tersebut. Dari kecil saya rawat hingga menjadi besar dan bisa menghasilkan anakan sampai lebih dari 700 anakan. Namun saya pernah kelepasan bicara dengan si sulung yang mau masuk SMP. Bahwa saya kalo dapat rejeki dari tanaman, akan membelikannya PC set dengan printer.
Akhirnya dengan pertimbangan janji pada si sulung, dan harga yang udah cocok sejumlah 15 juta rupiah, saya pun melepas indukan dengan hati lara.
Pagi hari Minggu, saya terduduk di teras menatap indukan yang diangkat ke atas mobil pickup. Hati saya seperti melepas anak yang akan diasuh orang lain.
Pasti ada yang bertanya ya, kok bisa tanaman anthurium gelombang cinta dihargai sebesar itu? Iya, saat itu memang booming anthurium dan banyak orang jadi gila dengan membelanjakan uang pada barang yang tak masuk akal nilainya. Namun tanaman yang mendapat harga fantastis itu adalah yang berkualitas. Daunnya keriting, kulit daun tebal, sehat, tidak ada luka gesekan daun, warna hijau sehat, dan tumbuh kompak daunnya. Tanaman indukan saya yang terjual memenuhi kriteria itu.
Kabar yang beredar, tanaman indukan saya yang udah terjual itu, dibeli orang dari Jakarta seharga 25 juta. Gilak yaa. Saya aja sampe ngakak loh mendengar kabar itu. Dan booming harga fantastis itu hanya beberapa bulan aja kayaknya.
Saya sendiri masih sibuk ngurus tanaman seperti biasanya. Namun kabar saya menjual tanaman seharga 15 juta menjadi gosip orang sekompleks bahkan sampai ke kelurahan, hahaa. Kebetulan rumah saya yang pertama ini memang dekat dengan kantor kelurahan. Ada pegawai nya yang pernah saya kasih anakan anthurium ini.
Hobi yang menyenangkan ini bikin saya jadi punya kegiatan tiap hari. Tubuh jadi sehat karena pagi-pagi udah ngurus tanaman. Pulang kerja juga yang dicari dan ditengok tanaman dulu. Anak-anak udah agak besar sih dan mereka pun kayak asisten saya, membantu ikut menyiram dan mengangkat pot-pot tanaman yang kecil yang bisa mereka pindahkan ke tempat sesuai keinginan saya.
Ahhh saya jadi bernostalgia menuliskan pengalaman saya saat berjualan makanan atau merawat tanaman. Tema arisan blogger Gandjel Rel ini memang unik. Saya senang bisa menuturkan kisah ini, sesuai permintaan pemenang arisan periode 3 yaitu mba Ika Puspita dan Novia Domi.
Bagaimana pun hobi yang menghasilkan bakal bikin hati bahagia. Cukup lah merawat hobi dengan jujur, ikhlas, dan berbaik sangka, insyaAllah pasti ada berkah di dalamnya. Saat ini di rumah saya memang tak lagi merawat tanaman seperti di rumah lama.
Namun tanaman yang sekarang pun semoga juga membawa berkah. Ada tanaman cabe, jeruk nipis, jeruk limau, jerut purut, belimbing wuluh, sirsak, yang hasilnya juga dinikmati oleh tetangga.
Dari Sahabat Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menanam tetumbuhan kemudian burung, manusia, dan hewan ternak memakan buah-buahan dari pohon yang dia tanam kecuali hal tersebut terhitung sedekah baginya” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan kalimat “dan buah-buahan yang dicuri dari pohon tersebut, maka hal itu adalah sedekah baginya” dan juga tambahan “maka hal tersebut adalah sedekah baginya sampai hari kiamat” (HR Muslim)
Ahh tak terasa panjang juga curhat saya tentang hobi. Saya jadi penasaran pengen nanya, sahabat punya hobi apa aja? Sharing yuk, wassalamualaikum.
Aku dulu dikasih Tante yg pernah koleksi anthurium ini mba. Beliau beli 11 juta, kupikir ya Allah emane beli tanaman aja kayak beli motor, haha. Punyaku hidup sampe daunnya banyak, tapi karena ga tau cara ngerawatnya jadi ya cuma dibiarin aja
BalasHapusKalo berbunga kayak di foto atas itu, tinggal diambil aja. Nanti ditaruh di pot, kasih sekam dan tanah kompos mbak, ntar bakal mumcul anakan kecil-kecil
HapusHobi : nonton, baca buku.
BalasHapusHobi lainnya : Beli buku.
Hhaha...rasanya happy banget kalau diajakin jalan ke toko buku.
Keren sekali, kak...rejekinya berasal dari hobi yang ditekuni dengan tulus.
MashaAllah~
Alhamdulillah, katanya hobi sepanjang dirawat bakal berkah, hehee
HapusMbaaa..saya ingat masa2 booming itu. Saya jadi konsumen tapi..bukan produsen spt mba Wati..haha.. Sekarang, tingga Gelcin, Jenmani dan Si Badak saja yg tersisa..hehe..
BalasHapusWaahh enak jadi produsen lohh
HapusPas wabah gelombang cinta itu ibu saya juga ketularan. Haduh...sukanya ngajak ke pameran bunga walau akhirnya ga beli krn harganya yg aduhai.
BalasHapusCuci mata thok.
Tapi sempat punya juga sih ibu saya. Sampe sekarang masih kyknya.
Kl punya tetangga saya skrg gelombang cintanya udah jd tsunami cinta, saking gedenya, hahaha...
Aku malah udah gak punya, pindah rumah tuh dibagi2 karena rumah sekarang gak memungkinkan untuk nanam gelcin
HapusKalau hobi suka bongkar bongkar css template hahah gk tahu suka banget btw.
BalasHapusKereeen mbak, aku gak mudeng css
HapusMbaaaa, dirimu sungguh produktif sekaleeee
BalasHapusaku pengin euy, kecipratan kreatifnya dikiiittt aja :)
Semoga berkah ya Mbaaa
Bagusbbanget tuh kak. selain bisa dikomsumsi untuk diri sensiri bisa jadi ladang penghasilan juga yah kak. semoga selalunsegar yah ka. Kakak mari kita sama sama berdoa semoga pandemi ini cept berlalu
BalasHapusSaya hobi masak. Sedangkan suami hobi berkebun. Tetapi, belum kepikiran untuk jualan begini. Setidaknya ini jadi hobi yang menyenangkan dulu untuk kami :)
BalasHapusMasak, berkebun, travelling, naik gunung, dan masih banyak lagi termasuk membaca dan menulis jadi hobi saya. Sementara saya menikmatinya saja. Belum ada niat buat jadikannya sebagai lahan usaha hehehe
BalasHapusWabah gini jadi pengin banget berkebun lagi, biar nggak tergantung sama tukang sayur kalau tiba2 lockdown. Kemarin sudah mulai nanem jahe. Baru jahe doang itupun sebiji wkwkwkkw. Eh, iya udah punya kelor juga ding.
BalasHapushobby yang menyenangkan dan at the same time we also have the opportunity to actual get some income from it ya mbaa
BalasHapusAyah saya hobinya berkebun dan ternak ikan, padahal kebunnya dan ikan udah banyak tapi sama sekali gak mau dijual, disedekahin aja katanya, berkebun & ternak ikan hanya untuk kepuasan batin saja :)
BalasHapusHobbi saya menjahit mbak, tapi sayang saya kewalahan atur waktu antara mengajar, menulis dan menjahit maka jadi korban deh hobbi jahit saya itu.
BalasHapussaya mulai melirik berkebun mbak, sejak teman saya bercocok tanam dengan media hidroponik, dan dia setiap hari pamer masakan dari hasil kebunnya hahaha kan saya juga pengen
BalasHapusSetuju mbak, keduanya dimiliki Ibuku. Hobinya masak jadi sering buat catering kalau ada acara dan berkebun jadi bunganya sering ditawar hehe. Sumber penghasilan yang sampai saat ini dikerjakan.
BalasHapus2 kegiatan yang menarik banget mba memasak dan berkebun tapi ngga semua orang bisa, beneran deh, soalnya alm Bapak menanam apapun pasti jadi tapi anaknya ngga semua bisa sukses bercocok tanam.
BalasHapusBarokallah ya Mba Hiday, apapun harus disyukuri hobi kita ini
BalasHapussenangnya bisa berkebun dan menghasilkan ya. Ibuku juga sneang banget berkebun, selalu tumbuh tapi giliran aku yang nanem ga sesubur tanaman beliau wakakka
Aku bak tahu bulat digoreng dadakan hobi masak ya karena Kak Ghifa pernah mogok makan, Buk. Cari-cari resep di internet, praktik, gagal, praktik, berhasil, praktik lagi, gagal lagi, hahahaha, malah nagih sampai sekarang.
BalasHapusBikin kue-kue itu ilmu dadakan semua. Wkwkwkkwk ya dari internet, ya, minta resep sama tante yang kebetulan hobi masak juga. Malah buka catering dan cake di rumahnya.
auto inget anturiumnya mamaku mb, dulu bejejer depan rumah tapi karena daunnya besar lebar dan mudah sekali tumbuh subur yang akhirya ngerasa gelep halamannya akhirnya dieliminasi
BalasHapusAku sempat dulu bikin rumah anggrek karena mau budidaya anggrek saat itu lagi hobi2nya eh ternyata akutu ga terlalu betah lama di sini... Beda sama nulis..bisa bertahun-tahun awet bertahan hehe..
BalasHapuspassionnya berarti nulis ya MBa hahaha
Hapusapalagi nulis bisa menghasilkan ya, semangat selalu mba Ida
Asalkan mengerjakan hobi dengan penuh cinta, rejeki bakalan mengikuti ya mba. Sama dengan hobi nulis, jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, lama-kelamaan akan menemukan jodohnya juga yaaa..
BalasHapusBener banget semua asal ditekuni bakal jadi rejeki yang tak terduga
HapusCoba jaman sekarang tanamanmu itu masih ngehits ya mba, masih bisa jadi sumber pendapatan. Masih teringat dengan masa-masa kejayaan si gelombang cinta itu :)
HapusAsal hobi itu beneran ditekuni emang deh ada aja cara bisa dapatin uang.
BalasHapusKayak hobi masak. Malah terpikirkan pengen buatku bisa jualan online kayak dipasarkan via Go atau Grab Food gitu mbak ehhehhee
Semoga hajat ini bisa segera terwujud
Sayangnya nggak hobi masak dan berkebun hehehe. Masak ya karena demi suami anak aja hihihi gak pede dijual
BalasHapusYa Allah, Mbak Wati memang kece badai ya. Tanaman-tanamannnya memang sering lihat di postingan. Kalau jualan makanan sih di grup kemarin baru ngeh. Lha bikinnya tentulah ribet ya Mbak. Tapi aku terus pingin cobain lho Mbak Wati. Keren ough... apa-apa bisa...
BalasHapusIhh, keren Mbak Wati, pinter masak dan berkebun sekaligus. Saya suka ngelihat orang berkebun, tapi nggak suka terjun langsung, takut ketemu cacing, hehe alasan yaa.
BalasHapusBegitupun nggak bisa masak, karena harus kerja dan sudah dibantu ibu buat masak. Dulu waktu baru pindah rumah dan orangtua belum ikut, saya masak sendiri sebisanya. Tapi sekarang jadi tergantung sama ibu dan malas masak, hehe.
Sukses buat Mbak Wati dengan kebun dan masakannya yaa :)
Mbak Watik, Nung mupeng banget sama lumpianya... #autongeces.Pasti dijamin uwenak. HObi berkebun Mbak Watik mirip banget sama hobi ibuk saya. Di rumah banyak sekali tanaman dan ibuk begitu telaten merawatnya
BalasHapusMb Wati mmg top bgt hobinya..aku g tll suka tandur2 sukanya cuman nyiramin aja hehe itu aja suka lupa. Rmhnya besar y mb 200 m lumayan bisa buat cocok tanam dan pastinya sejuk y
BalasHapusItu rumah lama, sekarang tinggal separo makanya pindah ke tempat baru enggak dibawa semua tanamannya, hehee
HapusMbak wati persis kek mamaku. Hobinya masak dan berkebun. Inget jaman booming gelombang cinta di rumah buanyak banget taneman itu bahkan indukannya ditawar puluhan juta, aku lupa tepatnya berapa. Dan mama ga mau lepas dong. Kesel banget rasanya tapi begitulah klo udh cinta kali ya mbak. Sampe sekarang blio selalu punya rumah yg kebunnya luas ya buat nanem macam2 gtu
BalasHapusMasyaAllah, Mbak.. seru baca cerita terutama yang berkebun. Inget banget dulu betapa hitsnya si gelombang cinta ��
BalasHapusAku juga suka masak dan berkebun cuma belum telaten, kalo dulu di desa kan nggak harus ngopeni banget, tanahnya subur mau mupuk tinggal ambil pupuk kandang dll. Sekarang mau nanam2 kudu ribet, semoga ntar bisa kalau tempatnya sudah memungkinkan.
Almarhumah ibuku ada usaha jualan bibit tanaman, Buk, tapi semenjak jualan di pasar, usaha ini mandeg. Ingin rasanya meneruskan usaha ini. Semoga kelak bisa.
BalasHapusNanti pagi aku mau berkebun, Buk. Beresin tanaman depan rumah dan mau nanem beberapa bunga juga. Mumpung banyak waktu luang juga.
Aku dulu pas jaman awal nikah juga tahu tetangga pada koleksi tanaman gelombang cinta. Wah mbak Wati sampai punya indukan dengan harga puluhan juta
BalasHapusAda cerita temanku yang punya tanaman ngehits di zamannya. Tanaman dieman-eman, tahunya daunnya dipetiki anak buat pasaran. Dirajangi ��
BalasHapusQiqiii, kebayang deh rasanya, apalagi kalo dari beli bisa darah tinggi tuh
HapusTulisannya lengkap dan menyegarkan. Saya kadang minta maaf sama suami, karena nggak begitu suka memasak. Hebat mbak Hiday ya, saya harus lebih banyak refleksi.
BalasHapusAku to kalo lihat mahkota dewa langsung keinget mba wati og karena inget cerita mba eati dulu suka nanam tanaman
BalasHapus