Pengalaman menemani anak saat rawat
inap di rumah sakit sungguh sebuah pelajaran hidup. Meski ini bukan pengalaman
pertama putra kami rawat inap di rumah sakit, tetap saja ada hikmah yang bisa
dipetik. Kamar perawatan yang diinginkan penuh, jadi kami mesti
rela menerima kamar kelas II yang ditunjukkan oleh perawat.
Berbagi kamar dengan pasien dalam
ukuran kamar yang sempit, mau tak mau membuat kami bisa mendengar keluh kesah
ataupun obrolan ringan dari tetangga satu kamar. Kadang kami berbicara dengan
berbisik agar tak mengganggu teman sekamar.
Jadi bukan salah kan, bila akhirnya
telinga ini mendengar percakapan seorang bapak dengan istrinya yang menjadi
korban kecelakaan lalu lintas dan dirawat di kamar yang sama. Mereka tengah
bingung memperdebatkan uang untuk pembayaran rawat inap si bapak. Mestinya esok
pagi mereka bisa pulang ke rumah. Namun ketiadaan biaya, membuat kepulangan itu
mesti ditangguhkan.
Dari percakapan itu pula aku baru
tahu bahwa seorang putrinya tengah mencari biaya dengan menggadaikan BPKB
kendaraan roda dua miliknya. Rencananya, angsuran tiap bulan akan ditanggung
oleh seluruh putra-putri pasangan suami istri ini.
Saat mendengar percakapan mereka, pandanganku jadi buram karena terharu. Hatiku bergetar. Begitu susahnya orang miskin saat
harus mengalami musibah dan rawat inap di rumah sakit. Benar kalau ada candaan
garing yang sering terdengar, bahwa orang miskin dilarang sakit. Karena untuk
melunasi pembayaran biaya perawatan banyak dari mereka yang harus melakukan
seribu cara untuk mendapatkan sejumlah nominal uang tertentu.
Saat pasien ini akhirnya bisa pulang,
tak berselang tiga jam sudah ada pasien baru yang menempati tempat tidur itu.
Rupanya ini juga menjadi cerita tersendiri. Pasien ini ternyata kurang bisa bertenggang
rasa. Saat sesama pasien di kamar ini dibezuk oleh teman dan kerabat, dia akan
mengomentari suasana kamar yang bising. Namun suatu ketika, ia mengeluh tak
henti dengan suara keras dan mengganggu waktu istirahat pasien dalam kamar itu.
Memang, berbagi kamar yang sempit
dengan sesama pasien menjadi pelajaran berharga. Aku bersyukur, putra kami
bisa menerima keadaan ini karena kamar perawatan yang diinginkan tak tersedia.
Ia tetap doyan makan apapun yang dihidangkan oleh perawat rumah sakit. Ia juga
minum semua obat yang diberikan oleh dokter yang merawatnya. Sehingga hanya
butuh waktu tiga hari, dokter sudah mengizinkannya pulang ke rumah.
Betul ya Mak Wati, pelajaran hidup memang bisa diperoleh dari mana saja, bahkan dari sepetak ruang sempit di rumah sakit.
BalasHapusIyo mak, belajar di mana saja :)
Hapusbetul...betul...dimana saja, kapan saja ada saja pelajaran yang bisa kita peroleh.
BalasHapusHihi..jadi kayak iklan minuman :)
Hapuswaduh kalo kepulangan ditangguhkan malah menambah biaya kan mbak, kasihan ya. Eh bukannya kalo kecelakaan dapet smacam asuransi dr jasa raharja yak, n si bapak apa ngga punya semacam jamkesmas?
BalasHapusNah itulah mak Rahmi, yg bikin trenyuh. Kalo mundur berarti nambah biaya :(
HapusAsuransi Jasa Raharja ngurusnya lama. Kapan2 aku pengen sharing ttg asuransi ini.
ada hikmahny aya mbak berbagi kamar. Semoga si bapak itu mendapatan jalan ya mbak
BalasHapusBetul mbak Lidya, jadi tambah bersyukur bagaimanapun keadaan kita :)
HapusMasyaAllah ... iya ya mba, dgn keadaan seperti itu, kita bisa merasakan yg org lain rasakan.
BalasHapusBelajar berempati, meski baru bisa sebegitu aja, belum bisa mengulurkan bantuan berupa materiil :(
Hapus