SAKITNYA TUH DI SINI, BU... - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Kamis, 13 November 2014

SAKITNYA TUH DI SINI, BU...

Lantunan adzan Milzam bikin air mata berlinang  

Tiga hari menjelang berangkat ke tanah suci, suami mengajak kami berkumpul di ruang keluarga. Dua putra kami, Milzam dan Naufal telah beranjak remaja. SEpertinya mereka tahu ada hal serius yang ingin disampaikan sang ayah.
“Babe mau bicara penting dengan kalian,”

Milzam terdiam mendengarkan. Beda dengan si adik yang senyum-senyum dan sesekali asyik memainkan kertas lipat di tangannya.

“Sebentar lagi, Babe sama Ibu akan berangkat. Kamu jagain adik, ya. Kalian hanya dua bersaudara. Ingat pesan Ibu selama ini, tetap lah saling menyayangi, rukun dan setia,”

Milzam mengangguk takzim. Naufal? Kepalanya mengangguk, tapi seringai jahil tak lepas dari wajahnya.

Suamiku terus memberitahu anak-anak. Menjelaskan bahwa kepergian kami berdua kali ini cukup lama dan berjarak lebih jauh. Perjalanan menggunakan pesawat terbang dengan jarak tempuh yang cukup panjang dan baru pertama kami alami. Bisa saja ada kejadian buruk yang mesti dipersiapkan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Jadi si ayah pun menjelaskan berapa tabungan yang kami miliki. Termasuk menunjukkan buku tabungannya. Kemudian memberitahu hutang yang harus dilunasi serta piutang yang masih belum terbayar.

Untuk urusan kartu ATM, sengaja memang dipasrahkan pada adikku yang bisa mengurus keuangan selama kami tinggal.

Mendengar suami membicarakan urusan duniawi ini dengan kedua putra kami, hatiku bergetar. Antara sedih, senang, bingung lah pokoknya.

Tapi kami memang harus memberi informasi komplit pada anak-anak. Agar bila ada kejadian buruk menimpa kami selama proses pemberangkatan, selama di tanah suci, atau pun perjalanan kepulangan nantinya, mereka tahu apa yang menjadi kewajibannya sebagai anak.

Alhamdulillah, kami diberi kesehatan dan keselamatan sehingga bisa berkumpul lagi dengan keluarga, khususnya Milzam dan Naufal.
Seminggu setelah di rumah, aku bertanya pada Milzam.

“Mil, apa yang dulu kamu rasakan saat Babe ngomong tentang wasiat?”

Milzam menjawab kalem,”Nyesss, Bu,”

Hah? Nyessss?

“Maksudnya?” Tanyaku mendesak.

“Pokonya nyesss… nyess ya nyesss. Sakitnya tuh di sini,”

Ahhhh… aku pun menangis. Apalagi saat Milzam berbicara lagi.

“Aku langsung membayangkan, harus kerja sambil kuliah. Kan aku anak sulung, jadi biaya kuliah dan adik harus aku yang memenuhinya,”
Aku terpana. Sejauh itu pemikiran putra sulungku?! Tapi, apa yang dipikirkannya adalah kenyataan. Memang sih kami memiliki tabungan. Namun tabungan itu akan habis bila tidak dikembangkan menjadi modal seperti selama ini.

Dan usaha suami tidak mungkin diteruskan oleh si sulung. Di samping Milzam belum pernah terjun langsung membantu usaha sang ayah, dia juga masih kuliah. Rencananya, usaha suami akan diwariskan pada sang adik, Naufal.  

Ibu mertua yang mendengar cerita ini, malah menangis dan memarahi kami. 
"Bu, kami memang harus memberitahu anak-anak. Bukankah itu hal biasa di agama kita?"
"Iya sih, tapi kan kasihan anak-anakmu, Nduk," 
Melihat ibu menangis, aku tak kuasa membendung air mata yang semula kutahan.
 

Sebenarnya apa yang kami lakukan adalah untuk kebaikan. Namun kadang keluarga dan kerabat malah menganggap itu suatu hal yang berlebihan. Padahal umur manusia siapa yang bisa mengira-ngira? Apalagi kepergian kami adalah menjalankan ibadah haji. Ibadah yang memerlukan fisik, bukan semata materi. Banyak jemaah haji yang meninggal di sana. Bukan hanya orang yang sejak awal sudah sakit. Karena yang semula sehat pun bisa saja dipanggil menghadap-NYA.


Aku dan suami saat itu hanya berkeyakinan, bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala akan mengijabahi doa kami. Doa mohon kesehatan, kelancaran dan keselamatan selama menunaikan ibadah haji. Alhamdulillah, kini kami telah berkumpul dengan anak-anak dan keluarga.

1 komentar:

  1. Waah kereen yaa Mas sulung.....
    Jarang pemuda seperti itu memiliki orientasi yg jelas...
    Adik noufal? Hihi jdi keingat ulama favorit saya di solo.. habib noufal...

    BalasHapus